https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Meramu Sandang, Menebar Keberlanjutan Alam Indonesia

Selasa, 04 Maret 2025
sustainable fashion
Bagi masyarakat Jawa, filosofi sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (tempat tinggal)
lebih dari sekadar kalimat yang diucap. Itu adalah konsep kehidupan yang
telah mengalir sejak leluhur mereka menjejak. Penulisan dan pengucapannya pun harus berurutan,
tidak ada yang boleh diacak sebagai bentuk penghormatan.
Sandang bahkan telah melebar tak cuma pakaian, tapi perlambang martabat manusia.
Sebuah bukti kalau kita lebih dari hewan yang menjelma sebagai harga diri, berselimutkan akhlak dan tata krama.

***

Waktu aku berkunjung ke Waerebo, salah satu desa adat terpencil sekaligus terindah di Indonesia pada tahun 2022 silam, ada banyak sekali hal yang aku dapatkan. Semua tentu sudah sangat sepakat dengan keindahan alamnya yang bersemayam di tengah perbukitan seindah negeri dongeng itu, tapi Waerebo juga memiliki cerita-cerita sederhana soal kehidupan yang luhur dari masyarakat adat suku Manggarai yang ada di sana.

Menyeruak lewat rumah-rumah adat kerucut yang disebut dengan Mbaru Niang itu, aku menyadari kalau masyarakat Waerebo justru menemukan kedamaian dalam kehidupan mereka yang sangat menyatu dengan alam tersebut. Ya, untuk bisa tiba di desa adat yang berlokasi di Kelurahan Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur itu memang butuh perjuangan.

Dari Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat, kalian butuh perjalanan darat sekitar hampir 4-6 jam untuk sampai di Denge. Desa terakhir di jajaran pegunungan Manggarai itu adalah titik awal pendakian menuju Waerebo. Benar, untuk mencapai tempat yang begitu indah itu kalian harus melangkah dan mendaki melintasi bukit selama 2-4 jam.

Namun percayalah, keindahan yang dijanjikan Waerebo terlalu luar biasa untuk perjalanan melelahkan itu.

Keramahan masyarakat di sana membuatku terpikat dengan Waerebo.

Terbangun di pagi hari dengan kabut yang masih menyelimuti, hingga perlahan menguap saat matahari malu-malu menembusnya, Waerebo adalah cara terbaik untuk mensyukuri kehidupan. Termasuk bagaimana perempuan-perempuan di sana sudah bersimpuh di balik alat-alat tenun gedogan mereka sejak pagi, membuat lembaran demi lembaran kain tenun ikat pedan. 

“Kami di sini buat kain tenun ikat pedan, kakak. Pedan dalam bahasa Manggarai bisa berarti selimut atau kain panjang. Biasanya kain ini dipakai untuk ritual adat seperti upacara dan jadi kain penghormatan,”
perempuan Waerebo sedang menenun
perempuan Waerebo sedang menenun foto: Arai Amelya
Aku mengangguk di sampingnya, terus mengamati jemarinya yang begitu lihai berpindah dari suri (sisir yang memisahkan benang) dan apit (penggulung tenunan yang sudah jadi). Sinar matahari yang menembus atap daun lontar Mbaru Niang hingga ke tempat kami berada, semakin membuat warna kain buatannya jadi cerah.

“Cantik sekali kan warnanya, kakak? Warna merah ini pakai benang yang direndam akar mengkudu. Ada juga dari kulit kayu secang,”

Aku melirik perempuan berkulit eksotis khas masyarakat Flores yang duduk di depanku ini, sedikit kaget lalu tersenyum lebar. Dia benar-benar sangat memahami apa yang sedang kupikirkan.

Lagi-lagi masyarakat adat, memahami betul makna hidup berdampingan dengan alam.

Suku Dayak Iban, Lalui Zaman Sebagai Garda Tedepan Penjaga Alam

Proses membuat kain masyarakat adat
Proses membuat kain masyarakat adat foto: Cinta Bumi Artisans
Bagiku yang sejak lahir sudah terbiasa tinggal di pulau Jawa dan memiliki pakaian dari produk pabrik-pabrik tekstil, pembicaraan mengenai teknik pewarnaan kain dengan bahan alami tentu sesuatu yang tidak akan kubicarakan setiap hari, bahkan bisa dibilang cukup baru kupahami. Padahal ternyata hal ini sudah lama dilakukan oleh banyak penduduk Nusantara sejak era lampau.

Seperti masyarakat di era Kerajaan Majapahit dan Mataram yang begitu bangga dengan kain batik, sudah terbiasa menggunakan kulit kayu tingi dan daun dari tumbuhan nila untuk menghasilkan pewarna alami cokelat dan biru. Kemudian ada juga orang-orang suku Toraja yang memilih lumpur sawah sebagai penghasil pewarna alami hitam untuk kain-kain tenun mereka.

Lebih lanjut jika diperhatikan, warna-warna cerah pada kain tenun khas suku Sasak di Lombok ternyata menggunakan aneka pewarna alami yang dihasilkan dari kulit kayu, daun ketapang sampai buah kunyit.

Kebiasaan masyarakat adat menggunakan bahan-bahan alami untuk produk sandang buatan mereka inilah yang juga menjadi perhatian Margaretha Mala. Aku mengenal Mala untuk kali pertama saat dia menjadi salah satu pembicara di sesi pertemuan online sebagai anggota #EcoBloggerSquad pada hari Jumat (28/2) pekan lalu.

Dalam kegiatan bertajuk Fashion Reimagined: Upcycling Waste into Wearable Art itu, Mala yang adalah Ketua Komunitas Tenun Endo Segadok berbicara soal tradisi nenun yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi dalam masyarakat suku Dayak Iban di Kalimantan Barat. Seperti halnya yang aku rasakan dari perempuan-perempuan penenun di Waerebo, Mala juga menyadari betul bahwa kegiatan nenun merupakan cara Dayak Iban melestarikan nilai-nilai luhur budaya dan tradisi.

“Menenun dengan menggunakan pewarna alami ini adalah upaya konservasi terhadap jenis-jenis tumbuhan yang menghasilkan pewarna alam. Hal ini bertujuan untuk mengurangi pencemaran lingkungan yang dihasilkan pewarna sintetis pada pakaian,”

Menariknya, proses nenun tak sekadar menghasilkan kain semata. Masyarakat Dayak Iban bahkan memiliki berbagai aturan adat terutama dalam tahapan nakar (perminyakan). Sekadar informasi, nakar adalah proses pemberian protein benang supaya warna pada kain bisa lebih bertahan lama dan kuat. Dalam tahapan nakar ini biasaya digunakan lemak babi, lemak ular, lemak ayam, lemak ikan, kemiri, buah kelapa busuk, buah kedondong, buah kelampai sampai buah kepayang.
proses Nakar masyarakat Dayak Iban
proses Nakar masyarakat Dayak Iban foto: Margaretha Mala
Sebagai tahapan penting, kegiatan nakar ini tak boleh dilakukan saat ada orang meninggal dunia karena masyarakat Dayak Iban meyakini itu akan membuat hasil pewarnaan dan benang jadi rapuh. Mereka yang boleh melakukan nakar pun haruslah orang tua yang sudah beruban dengan usia lebih dari 60 tahun. Perempuan-perempuan yang sedang menstruasi dan hamil dilarang keras melakukan upacara nakar, termasuk menggelarnya di dalam rumah. Bahkan benang yang sudah di-nakar harus masuk ke Betang (rumah adat suku Dayak) dan dijaga penuh tanpa boleh ditinggalkan sepanjang malam.

Demi terus melestarikan tradisi nenun termasuk nakar dan penggunaan pewarna alami, Mala yang berperan sebagai fasilitator pengrajin tenun di Dusun Sadap, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat turut serta menjaga keberadaan kebun etnobotani. Memiliki luas sekitar tiga hektar, kebun yang lahir dari inisiatif masyarakat Sadap dan didukung penuh petugas Resort Sadap, Balai Besar TNBKDS.

Tak main-main, di kebun etnobotani itu terdapat sekitar 160 jenis tanaman termasuk tumbuhan pewarna alami untuk kain seperti rengat akar, rengat padi, mengkudu, engkerebai, tengkawang dan belian. Selain itu? Terdapat juga tumbuhan obat, tumbuhan penghasil buah, tumbuhan bumbu masakan, tanaman perkebunan, tumbuhan kayu pertukangan, bahan kerajinan dan bahan komoditas lainnya.
Kain tenun masyarakat Dayak Iban di Sadap
Kain tenun masyarakat Dayak Iban di Sadap foto: Margaretha Mala
Memperoleh kebebasan untuk memanfaatkan hasil bumi dari kebun tersebut, orang-orang Dayak Iban membalasnya dengan senantiasa menjaga, merawat dan melestarikan.

Sebuah bukti lagi, memperkuat betapa masyarakat adat adalah garda terdepan dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Meskipun berada jauh dari pusat-pusat peradaban negeri, langkah-langkah kecil mereka adalah bagian aksi besar menghentikan bom waktu yang bernama climate change.

Upaya Kecil Jadi Generasi Berkelanjutan Lewat Ecoprint

Kegiatan Ecoprint
Kegiatan Ecoprint foto: Cinta Bumi Artisans
Apa yang dilakukan Mala dan suku Dayak Iban di Sadap tentu adalah manifestasi besar dari ide sustainable fashion. Menariknya, pembicaraan soal produk sandang berkelanjutan ini sebetulnya sudah dicetuskan oleh penduduk Indonesia sejak dulu. Hanya saja kemajuan teknologi membuat industri sandang atau lebih luas lagi dalam lingkup fashion menjadi bergerak dan terkendali dan menggelindingkan bencana baru bernama fast fashion.

Seperti namanya, fast fashion adalah industri sandang yang memproduksi baju secara cepat, massal dan murah mengikuti tren yang cepat berubah. Pergerakan brand-brand fast fashion ini bisa menimbulkan dampak buruk mulai dari tak ramah lingkungan karena menggunakan bahan-bahan sintetis seperti polyester yang sulit terurai, menghasilkan limbah tekstil yang terus meningkat, hingga eksploitasi tenaga kerja.

Menghentikan fast fashion tentu bukan perkara mudah.

Apalagi di tengah tawaran produk-produk industri ini di marketplace yang berharga murah dan punya banyak style, siapa yang tak tergoda?

Namun, kalian bisa kok melakukan upaya-upaya kecil seperti mulai menerapkan konsep slow fashion yakni membeli pakaian berkualitas tinggi supaya bisa dipakai lama, membeli pakaian preloved, mendukung sustainable brands, hingga melakukan upcycle & DIY yakni memodifikasi item fashion lama supaya bisa dipakai lebih lanjut.

Hal terakhir itulah yang ingin dikenalkan oleh Novieta Tourisia selaku founder Cinta Bumi Artisans,

Bagi Novi yang turut menjadi narasumber bersama Mala dalam pertemuan online dengan #EcoBloggerSquad, selalu ada ruang untuk setiap orang dan kontribusinya terhadap lingkungan. Ide besar soal sustainability bisa dicapai lewat upaya individu dan kolektif.

Melalui Cinta Bumi Artisans, Novi menghubungkan metode dan teknik pewarnaan alami tradisonal dengan hal-hal kontemporer.
Produk-produk Cinta Bumi Artisans
Produk-produk Cinta Bumi Artisans foto: Cinta Bumi Artisans
Berbagai material digunakan seperti kain dan serat alami mulai dari kain kulit kayu, heritage cotton, organic cotton, tencel, cupro, sampai serat nanas. Kemudian ada juga limbah-limbah kain hingga sejumlah pewarna alami dari kebun Warnabhumi, limbah dapur, atau tumbuhan-tumbuhan sekitar dalam produk Cinta Bumi Artisans.

“Menemukan pewarna alami itu bahkan bisa dari sampah dapur. Kulit bawang merah dan biji buah alpukat saja bisa diolah dan menghasilkan pewarna alami untuk produk sandang berkelanjutan,”

Lewat produk-produk upcycled fashion ini pula, Novi sadar betul bahwa perjalanan sehat dan selaras bisa diperoleh dari sandang berkesadaran dan berkelanjutan. Menggunakan teknik ecoprint, berbagai item fashion bisa ‘terlahir kembali’ menjadi produk yang semakin cantik.
Produk-produk Cinta Bumi Artisans
Produk-produk Cinta Bumi Artisans foto: Cinta Bumi Artisans
Seperti jumpsuit yang di-ecoprint dengan dedaunan dan dicelup dalam kulit buah jolawe, atau crop top yang di-ecoprint menggunakan daun jambu dan eucalyptus, pakaian yang mungkin dulunya hanya tersimpan dan menumpuk di dalam lemari berhasil disulap menjadi karya seni yang cantik dan tentunya lebih ramah lingkungan.

Kendati tampak sangat sederhana, ecoprint sejatinya adalah bagian dari upaya menghentikan laju fast fashion. Ini adalah sebuah gerakan alternatif ramah lingkungan, daripada kalian harus terus-menerus membeli pakaian baru.

Memanfaatkan berbagai bahan pewarna alami, diproduksi secara handmade, hasil dari ecoprint dalah produk yang unik, tahan lama, eksklusif dan sudah pasti slow fashion.

Jadi, mau kapan nih kalian mencoba melakukan ecoprint? Yuk, berbuat hari ini, demi Bumi yang lebih baik untuk dihuni!

Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life