https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Perantara Jutaan Tangan Rakyat Indonesia itu Bernama QRIS BRI

Sabtu, 30 November 2024
transaksi dan digitalisasi BRI
“Pak, bisa agak cepat? Babak kedua mau mulai, nih,”

Laki-laki itu terlihat sangat cemas. Aku tak menyalahkannya. Apalagi saat babak pertama usai beberapa menit lalu, Indonesia sudah ketinggalan dua gol dari tim tamu Jepang. Wajahnya memang menatap keranjang-keranjang ubi cilembu di depannya, tapi telinganya tampak berkonsentrasi mendengar kondisi di dalam Stadion Utama Gelora Bung Karno ini, kalau-kalau mendadak babak kedua sudah dimulai.

Terjadi sedikit drama di booth penjual ubi cilembu ini, karena ternyata si pedagang tak punya kembalian dari uang tunai seratus ribu Rupiah darinya. Gemuruh kemudian terdengar dari dalam stadion, membuat laki-laki ini semakin tidak sabar untuk menyelesaikan transaksinya. Namun seperti berada di jalan buntu, sang penjual juga bingung di mana mencari kembalian karena sedari siang tadi saat dia membuka lapak, para pembeli selalu membayar dengan uang pecahan nominal besar.

Hingga akhirnya laki-laki yang mengenakan jersey timnas Indonesia ini melihatnya.

Selembar kertas yang tergantung di salah satu bagian tenda ubi cilembu itu, membuatnya tersenyum lebar.

“Bisa dibayar dengan QRIS kan, Pak? Saya punyanya QRIS BRI,”

“Oh bisa-bisa! Silakan mas, enakan gitu, lebih cepat nggak cari kembalian,”
Penjual di Stadion Utama GBK
Penjual di Stadion Utama GBK | foto: dokpri Arai Amelya
Laki-laki penjual ubi madu cilembu itu tertawa senang. Masalah klasik mencari uang pecahan nominal kecil selesai sudah berkat selembar kertas yang dia gantung. Tak lama si pembeli menyodorkan layar ponselnya, memberikan bukti kalau dia sudah memindai QRIS tersebut dan menyelesaikan transaksi. Si penjual mengangguk dan kemudian menyodorkan sekeranjang kecil ubi cilembu hangat untuk laki-laki tersebut yang langsung berlari kembali ke dalam stadion.

Aku yang berada di lapak sebelah untuk membeli buah potong segar, ikut tersenyum dengan kejadian yang baru saja kulihat. Aku memang bukan penggemar sepakbola dan kedatanganku ke Gelora Bung Karno di hari Jumat ini, juga bukan karena ingin menonton pertandingan Indonesia melawan Jepang.

Hanya saja aku dan laki-laki yang tampak terburu-buru tadi memiliki satu kemiripan.

Kami sama-sama membayar pembelian kami dengan QRIS.

Sebagai milenial, membawa uang tunai mungkin sudah menjadi salah satu kebiasaan yang telah kutinggalkan. Apalagi berada di ibukota seperti Jakarta, gaya hidup cashless kurasa memang paling tepat denganku. Aku bahkan tak peduli jika dompetku tertinggal asalkan HP tetap ada di dalam genggamanku.

Asalkan ada HP, aku masih bisa melakukan tarik tunai di ATM jika kubutuhkan. Aku juga bisa top-up untuk e-money atau e-wallet melalui HP, sehingga tetap dapat bepergian ke manapun entah transportasi online maupun KRL, LRT, MRT, TransJakarta, hingga Whoosh.

Bahkan apa kalian tahu, kalian bisa membeli satu porsi telur gulung di area parkir Blok M Square dengan menggunakan QRIS. Tidak ribet, tidak butuh uang kembalian, dan pastinya semakin nyaman dilayakni. Tak heran kalau akhirnya aplikasi BRImo yang kupasang di ponsel, menjadi salah satu aplikasi yang paling sering kugunakan sehari-hari.

Buatku, QRIS BRI lebih dari sekadar kode transaksi yang bisa dipindai.

Dia berperan sebagai tangan-tangan transparan yang saling menghubungkan tak hanya diriku dan penjual telur gulung, atau si laki-laki penonton bola dengan penjual ubi cilembu, tapi lebih luas lagi QRIS telah menyambungkan tangan jutaan rakyat negeri ini.

Jejak Transaksi dan Digitalisasi BRI dari Tepi Lautan Hingga Kaki Gunung

Penjual patung komodo di Loh Liang
Penjual patung komodo di Loh Liang | foto: dokpri Arai Amelya

Menjulang setinggi 2.245 meter di atas permukaan laut, Inerie disebut-sebut sebagai pemilik puncak tertinggi di Pulau Flores. Tak heran kalau secara turun-temurun sejak 1.200 tahun lalu, masyarakat Bena meyakini kalau Yeta, sang dewa gagah perkasa itu membangun singgasana di Inerie untuk melindungi mereka. Sebagai desa megalitikum di Kabupaten Ngada, denyut yang terjadi di Bena memang warisan masa kuno. Namun itu bukan artinya para penduduk menolak segala jenis kemajuan di tanah mereka

***

Saat aku berkunjung ke Bena yang berjarak sekitar 19 kilometer ke arah selatan Bajawa, aku mengira kalau para penduduk di kampung adat itu cukup ketinggalan zaman. Ya, Bena jelas berbeda dengan dusun-dusun lain di wilayah Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere ini.

Kalau kalian datang ke sana, kalian akan menemukan sekitar 40 rumah yang dibangun saling mengelilingi wilayah Bena. Sementara itu bagian tengah Bena terdapat bangunan-bangunan yang disebut bhaga dan ngadhu. Jika bhaga adalah bangunan tanpa penguni yang berbentuk mirip pondokan kecil, maka ngadhu adalah bangunan dengan serat ijuk pada atapnya yang tampak seperti pondok peneduh. Kendati terlihat sederhana, ngadhu sebetulnya adalah bangunan yang sangat kuat karena tiang-tiangnya terbuat dari jenis kayu khusus yang nantinya bisa dibuat untuk menggantung hewan kurban saat pesta adat.

Hanya saja eksotisme Bena dengan pemandangan luar biasanya tepat di kaki Inerie, bukanlah satu-satunya hal yang membuatku terkenang.

Adalah seorang perempuan setengah baya bernama Maria Sawi yang mengisi posisi itu.

Maria mungkin sama seperti perempuan-perempuan berumur lain di Bena yang memiliki pekerjaan sebagai penenun kain-kain ikat tradisional Bena. Menggunakan alat tenun sederhana, Maria dengan cekatan memintal benang hingga menjadi kain-kain tenun dengan motif geometri khas Bena yang melambangkan kekuatan dan kegigihan.

Hanya saja ada satu hal yang membuat seorang Maria Sawi berbeda dengan para pengrajin dan penjual kain tenun ikat tradisional lainnya.

Jika rekan-rekannya masih menerima transaksi dengan uang tunai, Maria justru melengkapi teras rumahnya dengan satu label QRIS BRI yang terpampang begitu jelas. Tak heran saat aku melihatnya menenun dan membeli salah satu di antaranya, aku tinggal memindai QRIS dari BRI itu. Dalam waktu beberapa detik saja, uangku sudah berpindah tangan ke rekening Maria.

“Mama lebih suka pakai QRIS BRI saja pembayarannya, kakak. Karena nanti bisa langsung masuk ke rekening dan bisa ditabung supaya tak campur uang belanja. Biasanya anak Mama yang akan ambil uangnya ke Bejawa,”

Aku terdiam mendengarkan penjelasan Maria yang begitu lugas.

Sekali lihat saja aku tahu kalau Maria Sawi tidaklah muda lagi. Namun pemahamannya soal QRIS dan kepraktisan yang ditopang oleh keberadaan akses internet di Bena, membuat Maria seolah menyusut tiga puluh tahun lebih muda.

Ya, Bena memang boleh menjadi salah satu kampung tertua di negeri ini.

Namun kecanggihan teknologi sudah menembus tembok-tembok Bena dan membuatnya hidup berdampingan dengan budaya luhur yang telah diwariskan ribuan tahun lamanya.
Maria Sawi dengan QRIS BRI
Maria Sawi dengan QRIS BRI | foto: dokpri Arai Amelya
Berada di Nusa Tenggara Timur, Bena memang tahu betul potensinya sebagai destinasi wisata kelas dunia. Sama seperti Taman Nasional Komodo yang terus berbenah dan memberikan berbagai layanan yang mempermudah wisatawan termasuk dalam hal transaksi, Bena juga menunjukkan keseriusannya untuk bermetamorfosis jadi lebih menawan.

Hal itulah yang setidaknya kutemukan saat aku membeli patung komodo untuk oleh-oleh dari Iwan. Pemuda yang berjualan di area Taman Nasional Loh Liang di Pulau Komodo itu juga menawarkan proses pembayaran menggunakan QRIS yang labelnya dia pasang di meja dekat patung-patung hewan purba itu dipajang.

Sungguh menakjubkan bagaimana Pulau Komodo yang butuh perjalanan laut sekitar empat jam dari Labuan Bajo dan menjadi salah satu pulau terujung, sudah mengenal QRIS begitu baik.

“Kalau pakai QRIS, istri bisa cek penjualan juga secara langsung di rumah karena semua laporannya bisa dilihat lewat aplikasi BRImo. Tapi ya begitu, kami cuma bisa cek transaksi dari jam delapan pagi sampai delapan malam karena setelah itu sinyal internet dari Pulau Padar bakal terputus,”

Tawa Iwan terpecah saat memberitahuku soal internet di Pulau Komodo.

Tentu aku tak perlu diberitahu lebih lanjut karena saat aku melakukan syuting untuk film pendekku, PALLO & ORA di Desa Komodo pada akhir Agustus 2024 kemarin, aku memang harus berjuang ekstra keras untuk menyesuaikan diri dengan sinyal internet yang terbatas. Hanya saja bagi Iwan dan istrinya, sinyal internet yang terbatas justru sebagai alasan mereka untuk lebih bijaksana dalam mengelola pemasukan lapak oleh-oleh mereka yang masuk ke rekening lewat perantara QRIS BRI.

Lagi-lagi, QRIS BRI menjalankan tugasnya sebagai penghubung jutaan tangan rakyat Indonesia.

QRIS BRI Tetap Setia Menjaga Denyut UMKM di Indonesia

Indonesia memang diberkati dengan 270 juta penduduk yang hidup di dalamnya. Dari jumlah itu, 34,7 juta di antaranya adalah para pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) yang menjadi penggerak generator perekonomian nasional. Sungguh ajaib bagaimana QRIS, kode-kode yang dipindai itu adalah penjaga denyut dari sekitar 24 juta pelaku UMKM atau 80% dari jumlah total yang dilaporkan

***

Menurut Perry Warjiyo selaku Gubernur BI kepada CNN Indonesia, transaksi QRIS di Indonesia memang tidak bisa diremehkan. Bahkan hingga Oktober 2024, jumlah pengguna QRIS menembus 54,1 juta orang yang artinya ada pertumbuhan transaksi QRIS ini begitu pesat mencapai 183,9% (yoy). Keberadaan sistem pembayaran yang aman, lancar, dan handal adalah kunci kinerja transaksi ekonomi dan keuangan digital yang begitu menggembirakan.

Tak hanya QRIS, transaksi lewat e-money juga menyentuh angka 1.365,4 juta transaksi atau meningkat 27% (yoy). Sedangkan untuk transaksi digital banking seperti yang biasanya kulakukan lewat aplikasi BRImo juga dilaporkan tumbuh 37,1% (yoy) menjadi 1.960,8 juta transaksi.
Infografis QRIS
Fakta ini pula yang akhirnya membuat BRI ingin terus mendorong para pengusaha di Indonesia untuk melengkapi metode pembayaran mereka dengan QRIS BRI. Kepada Kontan, Andrijanto selaku Direktur Jaringan dan Layanan BRI mengungkapkan optimismenya mengenai pertumbuhan volume transaksi pembayaran lewat QRIS BRI di kisaran 18% secara tahunan (yoy).

Demi mewujudkan hal itu, BRI secara masif mengenalkan dan mengajak para pebisnis termasuk pelaku UMKM untuk mulai menggunakan QRIS BRI. Menargetkan toko-toko di pusat perbelanjaan, tempat wisata seperti di Bena atau Loh Liang, hingga sentra kuliner seperti penjual ubi cilembu di Gelora Bung Karno atau abang-abang telur gulung di area parkir Blok M Square.

Hal ini yang membuat realisasi volume transaksi merchant QRIS BRI di tahun 2023 silam tumbuh menembus 400% (yoy) dengan jumlah total 3,7 juta merchant atau meningkat 30% (yoy).

Dengan berbagai pencapaian luar biasa itu, apa yang membuat QRIS BRI menonjol dibandingkan QRIS dari layanan perbankan lainnya? Tentu jika ditanyakan kepada para pelaku UMKM, maka mereka akan lantang menjawab mengenai bagaimana QRIS statis BRI ini melakukan pencairan dana hingga empat kali sehari secara otomatis. Berikut perinciannya:
  1. Pencairan pukul 06.00 – 09.00 WIB untuk transaksi hari sebelumnya pukul 17.01 – 23.30 WIB
  2. Pencairan pukul 13.00 – 14.00 WIB untuk transaksi hari sebelumnya pukul 23.31 – 10.00 WIB
  3. Pencairan pukul 17.00 – 18.00 WIB untuk transaksi hari yang sama pukul 10.01 – 14.00 WIB
  4. Pencairan pukul 21.00 – 22.00 WIB untuk transaksi hari yang sama pukul 14.01 – 17.00 WIB
Dengan sistem pencairan dana empat kali sehari ini, tentu para pelaku UMKM yang memang memiliki jumlah modal terbatas akan sangat terbantu lantaran bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Bahkan karena tak perlu menanti dana masuk ke rekening, kalian bisa mengelola arus kas bisnis dengan lebih efektif dan efisien.

Sebuah upaya yang luar biasa. Sekali lagi membuktikan kalau BRI memang terus setia menjaga denyut UMKM Indonesia. Karena dengan begitu, perekonomian bangsa juga akan terus bergerak dan akhirnya mampu menciptakan kesejahteraan untuk seluruh rakyat.

Jadi masih meragukan bagaimana QRIS BRI adalah perantara jutaan tangan rakyat Indonesia?

Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life