https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Darnetty binti Ruis Rajo Gindo

Senin, 24 Juni 2024
Mama saat di Jam Gadang, Bukittinggi
Orang-orang memanggilnya sebagai Bu Woko, sama seperti nama suami yang berumur delapan tahun lebih tua daripada dirinya.

Ada juga yang memanggilnya sebagai Mama Alif, Mama Lya, atau Ibu Andi, sesuai dengan ketiga nama anak-anaknya.

Sementara itu yang lain memanggilnya sebagai Mbak Netty atau Bu Netty, karena itulah nama lahirnya, Darnetty. Tentu bukan nama yang lazim bagi masyarakat Jawa tempat dia tinggal dalam setengah lebih usianya, karena itu adalah nama perempuan asal Minang.

Namun bagiku, selamanya aku akan memanggilnya sebagai, Mama....

***

Aku tidak pernah menduga kalau 2024 akan menjadi tahun paling berat dalam hidupku. Tepatnya pada tanggal 17 Mei, pukul 16.30 WIB, aku akhirnya mengalami apa yang paling ditakuti setiap manusia di Bumi ini.

Kehilangan seseorang karena dijemput oleh kematian.

Bahkan seseorang yang akhirnya pergi itu adalah salah satu yang terpenting dalam hidupku.

Mamaku.

Aku masih ingat di hari itu, Jumat. Sama seperti hari-hari sebelumnya atau Jumat-Jumat sebelumnya, hari itu seharusnya menjadi hari yang pendek. Setelah aku menyelesaikan pekerjaanku di kamar, diselingi oleh Mama yang beberapa kali memanggilku dan hanya kujawab seadanya, aku menjalani tanpa pernah menduga kalau itu adalah Jumat paling kelabu selama aku hidup.

Sore harinya sebelum Ashar, kami bahkan masih makan bersama, seperti kebiasaan sehari-hari. Mama masih membuatkan bumbu tahu yang akhirnya berhari-hari kemudian menjadi basi karena aku enggan menyentuhnya.

Sekita pukul 16.15, aku pamit untuk pergi membeli makanan kucingku.

“Mah, aku pergi dulu, ya,”

Itu adalah kalimat terakhir yang kuucapkan pada Mama. Dan Mama seperti biasa, menjawab dengan anggukan dari balik kacamata minus yang terpasang melorot di hidungnya. Tanpa kusadari kalau itu adalah anggukan terakhir dari Mama.

Aku kembali dari luar sekitar 15 menit kemudian, dalam kondisi pintu rumah dikunci dan akhirnya aku menelepon Papa untuk membukanya.

Seperti biasa juga aku memanggil Mama, mencari tahu keberadaannya yang kata Papa beliau sedang mandi. Kupanggil dari ujung dapur, hanya terdengar air yang mengalir tanpa jawaban dari Mama. Saat itu aku berpikir mungkin Mama tidak mendengar panggilanku, sehingga aku memutuskan untuk ganti baju ke kamar.

Namun saat aku berganti baju dan suara air mengalir masih tidak berhenti, aku mulai gelisah.

Tidak biasanya Mama membiarkan air kamar mandi mengalir begitu saja sampai meluber, apalagi ada beliau di dalam kamar mandi itu.

Setelah aku berganti baju, aku melangkah lebih cepat ke kamar mandi dan memanggilnya tiga kali. Tidak ada jawaban. Kuketuk pintu itu, sama sekali tidak ada jawaban kecuali suara air meluber yang semakin deras.

Sungguh, hatiku saat itu sudah tidak karuan.

Hal-hal buruk sudah memenuhi otakku.

Kuberanikan diri mengintip dari lubang angin di pintu, dan aku melihatnya.

Tubuh Mamaku sudah terkulai di lantai.

Rumah pun jadi gaduh. Belum pernah aku melihat Papa dan kakakku, Mas Fian, sehisteris itu.

Air mataku tidak berhenti mengalir. Dadaku terasa sangat sesak. Tubuhku tak berhenti gemetar.

Karena saat itulah aku akhirnya harus sadar. Sebuah kenyataan yang menghantam hatiku.

Aku kehilangan Mama untuk selama-lamanya.

***
Kami sekeluarga saat ke Pantai Pasir Putih di SitubondoAda yang bilang bahwa kematian Mama adalah kematian yang sangat bagus.

Mama meninggal di hari Jumat. Mama meninggal setelah mandi dan wudhu yang artinya tubuhnya dalam kondisi suci. Dan Mama meninggal seperti yang dia inginkan, tidak merepotkan suami dan anaknya.

Bahkan lebih jauh, Mama meninggal dalam kondisi dua bulan sebelum kematiannya dipenuhi dengan berbagai ibadah yang tiada henti.

Namun orang-orang mungkin lupa bahwa aku, Papa, mas Fian dan Andi, benar-benar hancur atas kematiannya yang begitu mendadak itu.

Mama memang pergi di usia yang tidak muda lagi. 15 Mei 2024 atau dua hari sebelum kematiannya, Mama baru saja berusia 62 tahun. Aku ingat guru Agama Islamku saat SMP pernah bilang,

“Kita ini umatnya Nabi Muhammad SAW. Rasulullah meninggal usia 63 tahun, jadi ya kita sebagai umatnya, sepanjang itulah umur kita dijatah. Jadi kalau kalian udah umur 60 tahun, harus siap-siap untuk dijemput malaikat maut,”

Tapi sekali lagi, aku masih sulit menerima kepergiannya yang sangat mendadak itu.

Mama belum melihatku sukses.

Mama belum melihatku menikah.

Mama belum bisa kubahagiakan terus-menerus.

Sebagai anak perempuan satu-satunya, aku memang sangat dekat dengan Mamaku. Berbagai hal selalu kuceritakan padanya mulai dari lomba menulis yang kuikuti, tempat wisata yang kudatangi, gunung yang mau kudaki, cerita filmku yang mau dikerjakan, hingga gosip-gosip sahabatku yang sering membuatnya tergelak.

Bahkan setiap kali aku keluar, sekalipun itu hanya di Kota Malang, cuma sekadar ngopi 1-2 jam saja, aku pasti menelepon Mama.

Darnetty binti Ruis Rajo Gindo memang lebih dari sekadar Mama buatku.

Beliau bisa menjadi seorang kakak bahkan sahabat.

Kedekatan yang membuatku luar biasa bersyukur karena tak semua anak bisa mendapatkannya. Tapi juga membuatku luar biasa hancur, saat aku kehilangannya.
Aku dan Mama saat pulang kampung ke Bukittinggi
Jangan tanya padaku bagaimana diriku setelah kematian Mama.

Bahkan sampai Selasa (25/6) saat kami sudah mencapai 40 harian kepergian Mama, aku masih belum bisa memasak dengan normal di dapur. Aku masih begitu tidak nyaman memasuki kamarnya. Aku masih selalu terbangun di pukul satu pagi, dua pagi dan tiga pagi. Serta yang pasti aku masih terus menangis setiap melihat foto atau mendoakannya.

Bagiku ini sangatlah berat.

Rasanya sesak di dadaku tidak mau keluar dan menghujam begitu menyakitkan.

Kadang dalam amarahku pada Allah SWT, aku sering menuntutnya. Kenapa Allah memberikan musibah seberat ini padaku? Bukankah Allah memberikan cobaan sesuai dengan kemampuan umat-Nya? Karena sebagai umat Islam, aku merasa imanku masih jauh dari sempurna, sehingga kemampuanku untuk menerima kematian masihlah sangat lemah.

Andai aku bisa memutar waktu, rasanya aku ingin kembali ke hari Jumat, 17 Mei 2024 itu. Tidak meninggalkan Mamaku sedikitpun dari pukul 16.00 WIB, karena aku ingin menemaninya terkulai saat jiwanya perlahan meninggalkan raga.

Namun aku sadar kalau itulah permintaan yang tak akan bisa dikabulkan oleh Allah.

***

“Berduka itu bukan seperti apa yang selama ini ditunjukkan di film-film. Hal yang berat dari berduka itu adalah hidup kita harus terus berjalan, padahal kita lagi enggak mau jalan,”

Aku akhirnya bisa sangat memahami ucapan Hana (Nirina Zubir) dalam JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM (2023) itu.

Karena sejak kematian Mama, setiap orang yang datang padaku selalu mengharap agar aku kuat. Agar aku sabar. Agar aku ikhlas, agar aku sanggup menerima dan agar aku bisa menjaga Papa, mas Fian dan Andi.

Padahal jauh di dalam hatiku, aku tidak ingin seperti itu.

Rasanya aku ingin dunia berhenti di hari Jumat sore itu, membiarkanku menangis di samping tubuh Mama dan berharap ini semua adalah mimpi yang sangat buruk.

Namun sekali lagi, Mama tidak mengizinkan aku terpuruk seperti itu.

Perlahan dalam waktu-waktu aku bisa berpikir dengan tenang, aku menyadari bahwa Mama adalah manusia paling kuat yang pernah aku kenal.

Sejak kecil, Mama tidak mengenal sang Ibu karena Ibunya sudah meninggal dunia saat melahirkan adiknya, om Eri, yang berusia beberapa tahun lebih muda daripada Mama. Ayahnya pun memilih untuk menikah lagi sehingga meninggalkan Mama dengan kakak perempuannya yang kupanggil dengan sebutan makuo.

Selepas SD, Mama sudah meninggalkan kampungnya di Agam sana dan merantau seperti kebanyakan anak-anak Minang lain, yakni ke Jakarta. Di usianya yang masih sangat remaja, kehidupan Mama sudah sangat keras dan bahkan tanpa orangtua. Hingga akhirnya Mama menemukan keluarga baru saat dipersunting oleh Papa. Itupun kehidupan Mama masih tidak begitu indah karena sebagai perempuan Minang, Mama akhirnya dibawa ke Jawa Timur, lingkungan yang sangat asing.

Aku masih ingat bagaimana Mama selalu rendah diri dengan jenjang pendidikannya. Mengeluh berkata bahwa dia hanyalah perempuan desa yang tidak sekolah. Rasanya ingin aku jelaskan berulang kali bahwa Mama tidak perlu malu atau merasa jadi bodoh.

Karena kemampuanku menulis, menjuarai berbagai kompetisi dan bahkan menulis skenario film yang siap rilis di bioskop, berasal dari kromosom perempuan desa sepertinya. Ya, aku tidak mungkin secerdas ini kalau tidak lahir dari perempuan yang cerdas seperti Mama.

Bahkan Mama menjalani tiga dekade lebih pernikahannya dengan sebaik-baiknya.

Sebuah kehidupan yang mungkin bahkan aku tak akan bisa menjalaninya.

Sebuah tamparan yang menyadarkanku bahwa aku lahir dari rahim perempuan yang luar biasa.

Sebuah kekuatan untuk membuatku berhenti dari penyesalan dan ketakutan terus-menerus, karena di dalam tubuhku mengalir darah yang sama, darah Darnetty binti Ruis Rajo Gindo.
Mama saat di Bonjol, Bukittinggi


“You can feel when your mom’s proud of you, and you can feel the love, and just know that she doesn’t go away.” — Jimmy Fallon

Setelah Mama meninggal, hari-hari dalam keluarga kami memang menjadi luar biasa berbeda. Papa bahkan harus menjalani dua minggu dengan sakit di atas kasur dan terus menangis. Sebuah beban seorang manusia yang kehilangan belahan jiwanya.

Jujur, aku juga tidak tahu bagaimana kehidupanku selanjutnya. Apakah aku masih bisa bersemangat naik gunung, berkeliling Indonesia, menjelajah dunia, menonton film, membuat skenario atau memotret di manapun aku berada.

Namun setiap kali aku teringat dengan Mama, meskipun duka itu masih dan akan tetap ada, ada sebuah api kecil di dalam hatiku.

Api yang memaksaku untuk terus berjalan dan bangkit kendati tubuh penuh luka.

Api yang kobarannya terasa makin hangat selepas aku mendoakanya dalam waktu-waktu sholatku.

Mimpiku mungkin kini berbeda, tapi aku berjanji akan bisa jadi manusia yang lebih membanggakan lagi untukmu, Ma.

Terimakasih Darnetty binti Ruis Rajo Gindo sudah hadir dalam hidupku dan menjadi Mamaku.

Selamanya aku akan merindukanmu.


Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life

  1. Aku gak bisa komen banyak selain mau bilang ini tulisan yang dibuat dengan penuh cinta untuk orang yang paling dicinta. Yakin alm Ibu Darnetty husnul khotimah, amiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. aaamiin bangyan, hiks, aku nangis lagi, makasih doanya 🫶🫶

      Hapus
  2. Arai, aku cuma bisa doain aja ya. Karena kehilangan orangtua pasti sangat berat. Semoga bisa menjalani takdir Alloh dengan sebaik2nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin, makasih kak. asli, berat banget dan sesak, Bismillah aku yakin Allah dan Mama nemenin aku

      Hapus