https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

33 Tahun JNE: Bersama Pijarkan Cahaya dari Disabilitas Berdaya

Minggu, 30 Juni 2024
Kegiatan Omah Difabel
Kegiatan Omah Difabel membuat batik foto: Dokumentasi Pribadi
“Selama ini orang-orang memandang disabilitas sebagai kelompok yang kelainan, cacat, dan harus selalu dibantu. Itu melemahkan pikiran para difabel. Padahal mereka itu ingin menjadi manusia yang berdaya dan dipandang setara,”

***

Kalimat itu diucapkan Ken Kerta dalam pertemuan pertama kami siang itu di Kedai Organik Sawahrojo pada hari Jumat (28/6). Ditemani hembusan angin sejuk di lereng sebelah utara Gunung Panderman, Ken yang datang bersama beberapa pengurus LINKSOS (Lingkar Sosial Indonesia) tampak begitu tegas dalam ekspresi wajahnya yang tenang, ketika kami berbicara soal disabilitas.

Aku tidak kaget jika Ken terdengar begitu tegas saat bersentuhan dengan isu tersebut.

Mendirikan LINKSOS sejak tahun 2014, Ken memang sudah hampir satu dekade terlibat dalam kehidupan masyarakat marjinal serta mereka yang mengalami disfungsi sosial. Berawal dari para OYPMK (Orang yang Pernah Menderita Kusta) di Dusun Sumberglagah, Kabupaten Mojokerto, Ken akhirnya bersentuhan dengan kaum difabel yang memiliki kegundahan sama yakni diskriminasi serta self stigma dari lingkungan.

Apalagi ketika pandemi Covid-19 melanda dunia sejak tahun 2020, para difabel ini jauh lebih struggle untuk menjalani kehidupan. Mulai dari kesulitan memperoleh vaksin sampai fasilitas kesehatan, mereka harus hidup dalam kecemasan yang terus-menerus.

Kalian tentu bisa membayangkan betapa sulitnya kelompok disabilitas penglihatan dalam mempelajari tata cara cuci tangan yang sesuai anjuran WHO atau Kemenkes, bukan? Belum lagi mereka dengan disabilitas pendengaran yang diliputi ketakutan saat melihat ambulans hilir mudik lewat membawa para korban wabah corona, bertanya-tanya

Pandemi adalah sebuah kegelapan bagi disabilitas.

Namun bagi Ken, kegelapan itu bukan mustahil untuk dilenyapkan. Ken tak mau rekan-rekan difabel dan kelompok rentan lainnya hanya diam menanti belas kasihan saat wabah corona menguras semangat manusia. Ken ingin para disabilitas ini berdaya dan memijarkan cahaya mereka sendiri meski tak terlalu benderang, karena pada dasarnya cahaya yang lemah sekalipun bisa menyingkirkan kegelapan.

“Even the blackest darkness, disappears in the faintest light” – Carnby Kim (SWEET HOME)

***

Bangkit Saat Pandemi, Disabilitas Hidupkan Diri dan Lingkungan

Kegiatan LINKSOS di Omah Difabel
Kegiatan LINKSOS di Omah Difabel foto: Dokumentasi Pribadi
Menurut Ken ada tiga hal utama yang ditawarkan LINKSOS melalui POKJA (Kelompok Kerja) kepada para disabilitas yakni sharing job, sharing jaringan, dan sharing modal. Saat kutanya lebih lanjut mengenai sharing modal apakah LINKSOS memberikan bantuan dana agar para difabel itu memulai bisnis, Ken membantahnya.

“Di LINKSOS, selama 10 tahun berjalan, kami tidak pernah memberi bantuan uang tunai. Kami memberdayakan kemampuan mereka. Mereka yang bisa menjahit, memperbaiki mesin atau kemampuan lain, kami tawari pekerjaan. Dari situ POKJA berjalan lewat Omah Difabel sejak 2015, apalagi mayoritas para difabel ini lulusan BLK sehingga sudah punya skill. Meskipun memang ada beberapa yang akhirnya tak mampu bertahan karena menduga kami memberikan bantuan uang tunai langsung,”

***

Dari tawaran demi tawaran pekerjaan itu, Omah Difabel membuktikan kalau mereka mampu bertahan saat wabah corona. Ya, ketika banyak pelaku usaha gulung tikar saat pandemi melanda, Omah Difabel yang bertempat di Dusun Setran, Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang justru bisa menjadi wadah yang aman bagi disabilitas terus berdaya melalui lini kegiatan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah).

Lewat sektor UMKM, Omah Difabel memproduksi APD (Alat Pelindung Diri) seperti masker dan hazmat. Setidaknya ada 20 penjahit di Omah Difabel dengan 50% di antaranya adalah disabilitas dan sisanya adalah ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) dan warga sekitar non difabel yang kehilangan pekerjaan saat pandemi. Masker karya para difabel ini dijual dengan harga mulai Rp40 ribu, sedangkan hazmat di kisaran Rp165 ribu per unit yang seluruh produksi APD-nya ini menerapkan standar bio security dengan konsultasi ahli medis Dinkes.

Tak main-main, ribuan masker produksi Omah Difabel itu dibeli oleh RSJ Radjiman Wedioningrat yang kemudian disalurkan ke klinik rekanan mereka di Malang, Yogyakarta, Semarang, Pontianak, Tarakan, Jakarta, sampai Lampung. Sedangkan untuk Dinsos Kabupaten Malang, Omah Difabel mampu memenuhi orderan 15 ribu masker filter kain.
Produk kopi dari UMKM Omah Difabel
Produk kopi dari UMKM Omah Difabel foto: Dokumentasi Pribadi
Tidak hanya APD saja, Omah Difabel juga mampu memproduksi kopi herbal saat pandemi melanda lewat kerjasama dengan Unikama (Universitas Kanjuruhan Malang). Disebut kopi herbal karena produk kopi tersebut diberi campuran jahe merah sehingga lebih memberikan manfaat untuk imunitas tubuh. Dengan harga jual mulai dari Rp25 ribu – Rp30 ribu per kemasan, kopi herbal jahe merah ini menjadikan Desa Bedali sebagai wilayah inklusif berkat usaha kelompok disabilitas.

“Saya menjadi difabel karena saya OYPMK. Sebagai mantan penderita kusta, saya kehilangan pekerjaan. Namun berkat Omah Difabel dan memproduksi keset, saya bisa membantu perekonomian keluarga. Istri saya sendiri berjualan di Pasar Lawang dan saya bisa menghasilkan 5-10 keset setiap hari,”

***
Ken Kerta bersama anggota Omah Difabel membuat keset
Ken Kerta bersama anggota Omah Difabel membuat keset foto: Dokumentasi Pribadi
Yudha Nurjayalana tentu sama seperti OYPMK lain. Pria yang menjabat sebagai Tim Pemasaran Omah Difabel ini merasakan betul stigma sebagai mantan penderita kusta yang akhirnya jadi disabilitas. Enggan berpangku tangan menunggu bantuan dan terus dikasihani, Yudha membuktikan kalau dirinya mampu dan berdaya, sama seperti manusia lainnya. Tak heran kalau akhirnya keset menjadi salah satu produk UMKM unggulan dari Omah Difabel yang dijual dengan harga mulai Rp15 ribu per biji.

Selain APD, kopi herbal, dan keset, kain batik dipilih LINKSOS sebagai produk unggulan UMKM Omah Difabel. Menariknya, kain-kain batik Omah Difabel yang pertama dibuat oleh para disabilitas penglihatan sehingga diberi nama batik netra. Dalam prosesnya, batik netra dibuat lewat teknik ikat atau jumput yang kemudian dicelupkan ke cairan warna tertentu sehingga membentuk pola warna menarik. Dijual dengan harga mulai dari Rp85 ribu – Rp350 ribu, kain batik netra mampu menjadi sumber penghasilan.
Proses pembuatan batik capci Omah Difabel
Proses pembuatan batik capci Omah Difabel foto: Dokumentasi Pribadi
Tanggapan positif atas batik netra membuat Omah Difabel mengenalkan produk batik capci (cap ciprat). Mereka dengan disabilitas fisik bisa ikut mengerjakan batik capci yang memadukan teknik ciprat dan cat untuk coraknya. Yang menarik, batik capci memiliki motif gunung yang sesuai dengan salah satu program LINKSOS yakni Difabel Pecinta Alam. Sekadar informasi, Difabel Pecinta Alam ini memberdayakan disabilitas dalam wawasan lingkungan dan alam termasuk pendakian gunung.

“Saat ini fokus kami sebagai pengurus LINKSOS hanya menjadi jembatan agar para disabilitas berdaya yang sudah dibuktikan lewat Omah Difabel. Namun ke depannya kami ingin produk-produk UMKM itu semakin unggul dan punya daya pasar lebih luas. Karena literasi wirausaha para difabel ini terbatas, kami mengajak banyak pihak bekerjasama dengan harapan LINKSOS bisa menjadi penggerak perubahan supaya orang-orang semakin memanusiakan disabilitas,”

***

Komitmen Sepanjang Waktu JNE, Membersaamai Disabilitas Untuk Berdaya

Perjalanan Ken Kerta untuk memperjuangkan hak-hak kelompok rentan memang bukan sesuatu yang bisa dikerjakan dalam waktu singkat. Setelah satu dekade merangkul para difabel dan mengubah mindset mereka supaya tidak hanya berharap bantuan ekonomi semata, kini LINKSOS ingin mendorong instansi-instansi pemerintah dan perusahaan swasta untuk semakin peduli dan merangkul disabilitas.

Dalam perbincangan singkat kami, Ken bahkan berseloroh mengenai bagaimana perusahaan-perusahaan sudah mulai memberikan penghargaan atas aksi lingkungan, tapi masih sangat sedikit yang mengapresiasi kegiatan kepedulian disabilitas.

Namun hal itu tidak berlaku bagi JNE.

Sesuai dengan prinsip yang dipegang teguh oleh mendiang Soeprapto Soeparno selaku pendiri JNE yakni Connecting Happiness, perusahaan ekspedisi barang ini memang berkomitmen kuat untuk kepedulian sosial hingga kini JNE 33 tahun usianya. Salah satu upaya membersamai kelompok rentan bahkan dilakukan JNE Cabang Utama Surabaya, lewat memberikan peluang kerja bagi dua orang penyandang disabilitas fisik yakni Sirilus Siko dan Zamroni di departemen operasional.

Sirilus Siko - JNE Surabaya
Sirilus Siko, karyawan disabilitas JNE Surabaya
Menurut Ninil Indrasari selaku Branch Manager JNE Cabang Utama Surabaya seperti dilansir Tribun News, Sirilus dan Zamroni memang dipilih bukan karena stigma ‘kasihan’, melainkan mereka memang layak memperoleh kesempatan untuk bekerja lantaran mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabannya sebagai karyawan JNE.

Tak cuma menunjukkan kepeduliannya pada kelompok rentan, JNE juga tetap menjaga komitmen mereka dalam mendukung pelaku UMKM berkembang lewat upaya digitalisasi. Bahkan sejak tahun 2019, JNE sudah mengenalkan program Go Digital Marketing bagi pebisnis UMKM di seluruh Indonesia. Program ini mengikuti jejak JNE Ngajak Online pada tahun 2017 yang merupakan kegiatan edukasi strategi penjualan era digital, supaya produk-produk UMKM bisa semakin meningkat potensinya.

Tentu berbagai upaya JNE dalam semakin mendigitalkan pelaku usaha UMKM ini juga sama dengan tujuan besar Ken Kerta. Ken berharap sektor UMKM Omah Difabel juga semakin go digital lewat pengenalan media sosial hingga website bisnis, yang ke depannya akan semakin membuat produk-produk usaha para difabel memilik standar berkualitas tinggi.

Karena memang pada dasarnya, para difabel tak mau selamanya dianggap lemah, dipandang dengan tatapan penuh kasihan atau selalu ditolong. Mereka hanya perlu uluran tangan untuk diajak berjalan bersama-sama, sebagai seorang manusia yang setara untuk gas terus semangat kreativitasnya.

“A hero is an ordinary individual who finds the strength to persevere and endure in spite of overwhelming obstacles,” – Christopher Reeve

***

#JNE #ConnectingHappiness #JNE33Tahun #JNEContentCompetition2024 #GasssTerusSemangatKreativitasnya

Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life