"Selamat-selamat datang kami ucapkan, ucapkan. Pada rombongan Kementerian Pariwisata...”Perlahan, suara nyanyian itu terdengar makin keras saat aku dan rekan-rekan Kompasianerku semakin memasuki area hutan mangrove. Jelas bukan aku saja yang begitu penasaran, karena saat kulirik wajah mereka semua, tampak tak sabar ingin segera bertemu dengan pemilik suara tersebut.
Dan akhirnya setelah menembus pohon-pohon bakau, aku berjumpa dengan mereka.
Ada sekitar sepuluh orang laki-laki dewasa yang terus menyanyikan lagu tersebut. Suaranya terdengar semakin antusias saat kami sudah tiba seluruhnya. Barisan mereka yang berjajar langsung melingkar, tak peduli pada panas Likupang yang begitu menyengat siang ini.
Yang kutahu mereka semua mengenakan laku tepu berwarna merah, pakaian adat khas suku Sangihe di Sulawesi Utara. Lengkap dengan paporong di kepala mereka, aku jelas sungguh tak menduga kalau akan disambut bak rombongan pejabat seperti ini.
Ya, ini adalah kunjungan pertamaku ke Likupang.
suguhan masamper oleh suku Sangihe |
Seolah menyadari kalau kami semua begitu takjub, sang pangataseng yang memimpin mengajak rombongan paduan suaranya untuk melingkari kami. Kendati cukup sederhana, aku bisa melihat langsung suguhan masamper, tarian tradisional Bahoi yang begitu tersohor itu.
Tentu tujuan kami singgah ke Bahoi bukan hanya sekadar menyaksikan masamper atau lezatnya pisang goroho goreng dengan sambal roa yang disuguhkan kemudian.
Kami di sini adalah saksi bagaimana masyarakat Bahoi memperpanjang nafas kehidupan mereka lewat rimbunnya hutan mangrove seluas 28 hektar itu.
Mendengarkan Cerita Bahoi, Margomulyo dan Clungup
tepian pesisir Desa Ekowisata Bahoi |
Likupang memang tak tampil superior seperti sejawatnya.
Namun dari kesederhanaannya itu, Likupang mengajarkan kehidupan.
Sama seperti Desa Ekowisata Bahoi ini.
Mayoritas dihuni oleh generasi ketiga atau generasi keempat dari para perantau suku Sangihe, tak heran kalau penduduk Bahoi berprofesi sebagai nelayan. Namun Bahoi bukanlah masyarakat yang hanya tahu memanen sumber daya lautnya saja. Mereka sadar kalau kehidupan adalah perkara memberi dan menerima. Penerimaan dari alam, dibayar lewat pemberian pelestarian lingkungan yang dihembuskan oleh pariwisata Bahoi.
Kalian bisa menikmati surga bawah laut berkat spot diving dan snorkeling yang ada di sepanjang dua hektar DPL (Daerah Perlindungan Laut) milik Bahoi. Sedangkan untuk kelestarian lingkungan, para pengunjung akan diajak untuk menanam pohon bakau seperti yang kulakukan. Sebuah benih sonneratia alba yang akan siap menjadi garda terdepan kawasan pesisir Bahoi.
penanaman bibit bakau di Bahoi |
Hutan mereka adalah habitat sekaligus ruang konservasi alami bagi sekitar 12 spesies tanaman pesisir serta berbagai fauna khas seperti kerang, kepiting hingga udang. Aku bahkan tak bisa menutupi rasa takjub saat akar-akar nafas sonneratia alba maupun avicennia alba mencuat dari dalam tanah. Pemandangan ini begitu eksotis hingga kalian tanpa terasa mencapai tepi pantai Bahoi.
Ya, hutan mangrove memang sangat eksotis.
Aku ingat saat melakukan solo traveling di Balikpapan, sengaja kala itu kupilih hutan mangrove Margomulyo yang hanya berjarak 12 menit dari pusat kota. Memiliki jembatan kayu sepanjang 800 meter, Margomulyo yang seluas 16,8 hektar ini juga jadi habitat bekantan.
Berbeda dengan Bahoi, kawasan mangrove Margomulyo lebih dipenuhi oleh tanaman bakau alias rhizophora sp.
Aku di hutan mangrove Margomulyo |
Untuk bisa memasuki CMP, kalian harus melakukan reservasi karena pengelola CMP membatasi kunjungan tiap harinya demi menjaga kelestarian wilayah terlindungi.
Siapkan biaya masuk Rp10 ribu per orang dan guide (wajib) sebesar Rp100 ribu per 10 orang jika ingin mengunjungi CMP dan menikmati snorkeling di Pantai Tiga Warna, berkemah di Pantai Clungup atau menikmati keindahan Pantai Gatra dari bukit. Tenang saja, biaya masuk itu sudah dialokasikan juga untuk satu benih tanaman mangrove.
aku menikmati snorkeling di Pantai Tiga Warna |
Tentu ketiga area mangrove yang kebetulan pernah kukunjungi itu hanyalah sebagian kecil dari yang dimiliki Indonesia.
Namun ini adalah harapan bahwa negeri ini membesarkan manusia-manusia yang tak cuma bisa meraup pemasukan dari keindahan alamnya, tapi juga memanjangkan kehidupan bagi seluruh makhluk hidup di dalamnya.
Ekowisata, Saat Liburan Tanpa Rasa Bersalah
akar-akar napas tanaman mangrove yang mencuat di Bahoi |
Berkunjung ke destinasi ekowisata memang akan menjadi salah satu gaya traveling terbaru. Ekowisata menawarkan pengalaman liburan yang berbeda. Sebagai destinasi wisata berwawasan lingkungan yang fokus pada aspek konservasi alam, pemberdayaan sosial budaya dan ekonomi lewat keikutsertaan aktif masyarakat lokal, ekowisata memang jadi pilihan terbaik untuk Indonesia yang memiliki sangat banyak keindahan alam dengan masyarakat adat di dalamnya.
Bahoi, Margomulyo dan Clungup adalah contohnya.
Ketiga wilayah itu sama-sama memiliki area mangrove yang ternyata memiliki banyak sekali manfaat bagi lingkungan dan kehidupan.
Sebagai komponen ekosistem pesisir, mangrove adalah habitat dari hewan-hewan laut kecil sekaligus produsen rantai makanan wilayah tepi pantai. Jangan remehkan bentuk ranting atau akarnya yang tampak rapuh, hutan mangrove mampu menjadi pelindung sekaligus penahan arus dan ombak yang menerjang sampai erosi laut. Bahkan ketika daratan mengalami banjir yang membuat air mengalir ke laut dan membawa lumpur, tumbuhan mangrove mampu mengendapkan lumpur sehingga air di sekitarnya jadi lebih jernih.
Bahkan dalam lingkup yang lebih besar, tanaman bakau sebagai salah satu penyusun hutan mangrove bisa menjelma sebagai pahlawan perlawanan pemanasan global.
Bagaimana bisa?
Karena bakau mampu menyerap karbon dari atmosfer.
Kalian tentu sudah sangat tahu bahwa laju revolusi industri di Bumi menghasilkan emisi karbon yang semakin besar dalam setiap dekade. Peningkatan pesat atas karbon ini dipicu oleh bahan bakar fosil.
Bahkan dalam data yang diterbitkan CDIAC (Pusat Analisis Informasi Karbondioksida Departemen Energi AS), sudah lebih dari 400 milyar ton karbondioksida yang dihasilkan manusia sejak tahun 1751, dengan lebih dari setengah jumlahnya diproduksi sejak akhir 1980-an sampai sekarang.
Sungguh mengerikan, bukan?
Beruntung tanaman mangrove mampu mengatasi ulah manusia itu. Karakteristiknya yang memiliki banyak daun sehingga bisa menyerap karbon lebih banyak untuk fotosintesis adalah sebuah anugerah Tuhan yang mungkin harus kalian sadari kembali.
Hal inilah yang akhirnya membuatku begitu menikmati ekowisata.
Sebagai salah satu industri penyumbang jejak karbon terbesar, memilih traveling ke ekowisata adalah upayaku untuk liburan tanpa rasa bersalah.
pilihan challenge TUFI |
Kalian juga bisa mengikuti aksi #BersamaBergerakBerdaya sepertiku dengan memilih challenge yang ‘kalian banget’ di website resmi TUFI. Ada enam tema yang yang bisa kalian pilih mulai dari SAMPAH, MAKANAN, DIGITAl, ENERGI, BISNIS HIJAU dan AKTIVISME.
0 Comments