foto: Pro Fauna |
“Jadi waktu itu saya sedang ada di rumah. Tiba-tiba tanpa surat pemanggilan sebagai saksi, tanpa keterangan penangkapan, saya langsung dijemput paksa. Istri saya teriak-teriak dan ya saya dibawa sama polisi begitu saja,”
Aku terdiam, menatap pantulan Pak Buhing dari kaca spion mobil Hilux yang dia kemudikan. Di luar hujan mulai turun semakin deras ketika kami semakin jauh memasuki hutan di wilayah Hulu Sungai, menuju Desa Lubuk Kakap.
Effendi Buhing namanya. Beberapa tahun lalu aku hanya menemukannya di media-media online tapi saat ini aku adalah penumpang di mobilnya. Aku tak pernah menduga jika ekspedisi Batang Kawa yang kujalani bersama AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di bulan Februari 2023 lalu akan mempertemukanku dengan Ketua BPH (Badan Pelaksana Harian) PD (Pengurus Daerah) AMAN Lamandau tersebut.
Umurnya tak lagi muda yakni 52 tahun, hampir setara dengan Ibuku. Tapi Pak Buhing terlihat begitu semangat dan cekatan. Suaranya sangat tegas bercerita mengenai kriminalisasi yang pernah dia alami pada Agustus 2020 silam, sembari manginang.
Apa yang dialami Buhing ini memang begitu miris, tapi sungguh terjadi di Indonesia, di banyak masyarakat adat dan warga-warga desa. Aku kadang menganggap mereka sebagai para pejuang di tanah merdeka. Bayangkan saja, lawan mereka adalah perusahaan-perusahaan besar yang memperoleh izin dari negara, entitas yang seharusnya memberi perlindungan.
Konflik Hutan Adat Laman Kinipan yang ramai diperbincangkan sejak 2018 adalah sebuah perjuangan panjang hingga saat ini. Masyarakat adat di sana melawan perusahaan sawit PT. Sawit Mandiri Lestari (PT. SML) yang menyerobot area hutan adat seluas 1.242 hektar.
Tak jauh berbeda dengan masyarakat Kinipan, penduduk Desa Wadas di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah juga contoh orang-orang yang seharusnya merdeka tapi masih terus berjuang. Februari 2022 beredar sebuah video pengepungan dan penangkapan sejumlah warga desa Wadas oleh aparat gabungan TNI dan Polri.
Warga Desa Wadas menolak Bendungan Bener foto: Dokumentasi Polres Purworejo |
Membicarakan Kinipan dan Wadas jelas mengingatkanku pada kisah anak gembala bertubuh mungil bangsa Israel yakni David yang melawan Goliath, si raja bertubuh besar. Ini memang perjuangan yang hampir terdengar mustahil, tapi terjadi di banyak wilayah Nusantara. Sebuah negara yang konon sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945, tapi masih memaksa penduduknya berjuang.
Dan cerita perjuangan itu kini juga diurai oleh masyarakat Desa Nusantara.
Surga yang Diciptakan itu Bernama Desa Nusantara
“Kami datang dari Jawa ke Sumatera karena di kampung halaman kami sudah tidak ada lagi lahan. Tanah jatah warisan harus dibagi-bagi untuk saudara dan cuma dapat beberapa meter, bahkan tak cukup bikin rumah gubug. Sampai akhirnya ada tawaran dari pemerintah untuk transmigrasi,”
Usman memulai ceritanya, bagaimana dia bisa memulai kehidupan di Desa Nusantara dalam sebuah kegiatan webinar yang aku dan teman-teman Eco Blogger Squad ikuti hari Jumat (14/4) siang kemarin.
Nama Nusantara sendiri disematkan karena perusahaan yang mendapatkan tender pembukaan lahan dan pembangunan kawasan transmigrasi di era pemerintahan Orde Baru itu adalah PT Nusantara. Sehingga wilayah yang direncanakan jadi pemukiman baru pun bernama Desa Nusantara.
Tahun itu adalah 1981 dan Usman punya mimpi besar untuk mengubah nasibnya ketika mengikuti Program Transmigrasi di Air Sugihan, Kabupaten OKI (Ogan Komering Ilir), Sumatera Selatan. Namun ternyata mimpi itu menguap saat Usman dan puluhan ribu transmigran lain mendapati area tinggal mereka lebih cocok disebut sebagai kawasan ‘jin buang anak’.
Tak ada akses jalan.
Tak ada halaman.
Bangunan yang disediakan hanya rumah panggung dengan genangan air tepat saat turun dari rumah.
Usman ditempatkan di atas rawa gambut yang hampir tak mungkin jadi lahan produktif.
“Dua tahun pertama saya hanya bisa merenung dan meratap karena kebutuhan sehari-hari cuma tergantung dari pemerintah. Kami tahu kalau bantuan itu tak mungkin selamanya. Tapi harus bagaimana karena sawah selalu gagal panen, belum konflik dengan satwa liar, hama tikus dan babi. Kami harus minum air gambut karena sumber air bersih tidak ada. Satu-persatu rekan kami meninggal karena wabah muntaber dan kolera, bahkan sehari sampai belasan orang,”
Aku diam mendengar suara Usman yang begitu getir. Kehidupan yang awalnya diharapkan sebagai surga, berubah bak neraka dan itu dilakukan oleh negara.
Namun api sesungguhnya tak pernah benar-benar padam di benak warga Desa Nusantara.
Mereka paham bahwa perubahan itu harus diciptakan.
Area sawah warga Desa Nusantara foto: Muhammad Hairul Sobri/Mongabay |
Ada sekitar 600 KK (Kepala Keluarga) yang mengelola area sawah itu dengan 3,7 ton beras yang dihasilkan. Bahkan padi dari sawah Desa Nusantara itu memasok kebutuhan beras Sumatera Selatan juga. Area sawah yang produktif ini lahir berkat kerja keras warga desa yang memberantas tuntas hama di tahun 1995.
Tak hanya mampu mencapai swasembada beras, Desa Nusantara yang kini sudah memiliki 28 gudang beras dan penggilingan padi itu juga mempunyai hasil bumi lain seperti kopi liberica, nangka, jeruk kunci, nanas, buah naga hingga cabe rawit. Bahkan ada juga perkebunan karet hingga peternakan kambing serta sapi yang dikelola oleh warga. Belum lagi bicara soal kehadiran ikan gabus, lele hingga betok saat banjir yang tentunya bermanfaat.
Desa Nusantara pun menjelma menjadi surga yang berhasil dibangun berkat perjuangan. Keringat dan darah menjadi penopang kawasan yang kini memberikan napas kesejahteraan.
Namun itu semua berubah di tahun 2005 saat perusahaan sawit PT. Selatan Agro Makmur Lestari (PT. SAML) datang.
Cerita Kriminalisasi yang Terulang Kembali
Aksi penolakan warga Desa Nusantara foto: Muhammad Hairul Sobri/Mongabay |
“Negara ini memang kacau. Sudah tidak membantu, justru mendorong hidup kami menjadi miskin. Inilah makna kemerdekaan bagi kami, kaum tani Indonesia,”
Sukirman namanya, dan dia adalah salah seorang tokoh Desa Nusantara yang juga saksi hidup bagaimana kawasan tak layak itu menjelma menjadi sebuah wilayah pemukiman sejahtera.
Aku tak menyalahkan Sukirman yang begitu lelah berharap pada negara. Apalagi mengingat bagaimana Desa Nusantara mampu melakukan pembangunan wilayah hampir tanpa bantuan pemerintah. Kepada Mongabay, Ketua SPS (Serikat Petani Sriwijaya) Desa Nusantara itu bercerita jika masyarakat berhasil membangun sendiri fasilitas publik seperti jalan sejauh 8.000 meter dengan biaya Rp72 juta.
Biaya itu dikumpulkan dari hasil panen masing-masing warga pengelola lahan tanam. Di mana sekitar 10% hasil penjualan dipotong dan dikumpulkan, sehingga Desa Nusantara mampu melakukan pembangunan termasuk rumah ibadah baik masjid dan gereja.
Di saat mereka sudah menikmati kehidupan, warga Desa Nusantara dikagetkan dengan PT SAML pada tahun 2005. Pemerintah Kabupaten OKI yang kala itu dipimpin oleh Ishak Mekki (saat ini menjabat sebagai Anggota DPR RI) memberikan Izin Prinsip HGU (Hak Guna Usaha) kepada PT SAML untuk menggarap lahan seluas 42.000 hektar yang terletak di 18 desa Kecamatan Air Sugihan, termasuk Desa Nusantara.
Alat berat milik PT SAML foto: Muhammad Hairul Sobri/Mongabay |
Penolakan pun dilakukan warga Desa Nusantara yang membuat Sukirman bersama dua petani lain yakni Syaiful dan Tursiman menjadi tersangka atas pengaduan PT SAML pada tahun 2009. Sebuah harga mahal untuk sebuah perjuangan, sebuah cerita kriminalisasi yang terulang dikirimkan oleh perusahaan.
Tak ingin konflik berlalu, Pemerintah Kabupaten OKI sempat meminta PT SAML berhenti melakukan penggusuran sebelum memperoleh kesepakatan dengan masyarakat pada tahun 2012. Namun pernahkah kalian menemukan fakta perusahaan-perusahaan itu mendengar aturan? Karena hingga pertengahan 2014, PT SAML terus melakukan penggusuran.
Warga Desa Nusantara sekali lagi dihadapkan pada perjuangan yang tak kunjung usai.
Dan kali ini bisakah mereka menjadi David yang mampu mengalahkan Goliath?
WALHI dengan Dana Nusantara Untuk Para Pejuang Ekologis
“Ada sekitar 700 ribuan hektar lahan gambut di OKI tapi 500 ribuan di antaranya sudah rusak karena kebakaran dan perambahan yang dijadikan perkebunan HTI (Hutan Tanaman Industri). Sisanya sekitar 200 ribuan hektar kemungkinan besar bakal jadi perkebunan sawit,”
Hadi Jatmiko selaku Direktur WALHI Sumatera Selatan pada tahun 2014 menjelaskan jika masyarakat Desa Nusantara sadar kalau lahan gambut akan lebih terjaga jika dikelola sebagai lahan pertanian, alih-alih perkebunan. Karena bagaimanapun juga, aktivitas perkebunan akan diikuti bencana kebakaran, kekeringan, asap dan konflik satwa liar.
Belum lagi perkebunan sawit juga bisa memicu krisis air.
Sebuah skenario yang sekali lagi menggiring Desa Nusantara menuju nerakanya kembali.
Sadar akan perjuangan Desa Nusantara yang tak bisa sendiri lagi, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) pun melakukan berbagai upaya untuk menghentikan ancaman penyeragaman komoditas yang bisa saja terjadi.
Adam Kurniawan selaku Manajer Pengembangan Potensi Rakyat WALHI Nasional menjelaskan jika keseragaman komoditas yang ingin dijadikan sawit, sekalipun sawit memang komoditas strategis nasional yang menyumbangkan devisa luar biasa besar, bakal mengancam keanekaragaman hayati Indonesia. Padahal negeri ini terdiri dari gugusan kepulauan dengan karakteristik ekologis yang beragam, dan memiliki pengaruh para kekayaan alam global.
Agar pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam) bisa bertujuan pada pemulihan ekosistem dan akhirnya mengurangi dampak krisis iklim serta bencana ekologis, WALHI pun mengenalkan skema Pengakuan dan Perlindungan WKR (Wilayah Kelola Rakyat). Melalui skema ini, karakteristik wilayah lingkungan setempat jelas jadi fokus utama seusai dengan tradisi MAKL (Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal) setempat.
Tentu upaya ini membutuhkan bantuan Rupiah yang tidak sedikit.
Hal inilah yang akhirnya melahirkan program Dana Nusantara.
Reforestrasi Desa Tanjung Aur |
- Mendorong kemandirian MAKL karena mereka akan lebih sejahtera dengan mengelola lahan tanam sendiri daripada harus jadi buruh perkebunan sawit
- Meningkatkan partisipasi MAKL dalam mengelola SDA seperti yang dilakukan masyarakat Desa Nusantara lewat FPNB (Forum Petani Nusantara Bersatu). Dimana sejak didirikan tahun 2007, FPNB sudah memiliki 700 anggota yang menjadi wadah warga menyalurkan aspirasi
- Membangun kesadaran MAKL terhadap isu kerusakan lingkungan di Indonesia yang sudah mencapai tahap gawat. Belum lagi jejak karbon yang terus meningkat dan mengancam global waming hingga akhirnya memicu berbagai bencana katastropik. Upaya ini berhasil dilakukan oleh warga Desa Tanjung Aur di Bengkulu yang menghijaukan kembali wilayahnya dalam waktu sembilan tahun
- Lewat dukungan WALHI dan pengelolaan Dana Nusantara secara tepat, keberlanjutan pengelolaan SDA jelas akan terwujud. Dampaknya, keseimbangan ekosistem dan kerusakan lingkungan bisa dipangkas
- Keberadaan Dana Nusantara juga bisa menjadi lokomotif utama untuk meningkatkan partisipasi serta dukungan berbagai pihak yang peduli isu lingkungan hidup. Di mana kontribusi Dana Nusantara akan menggerakkan pengakuan dan perlindungan WKR, pengembangan ekonomi lokal dalam pengelolaan SDA berkelanjutan
Tentu ini adalah sebuah perjuangan bersama yang hasilnya tak bisa diperoleh dalam waktu singkat.
Para pejuang ekologis memang terdengar seperti David yang mungil. Tapi bukankah Goliath tak semengerikan yang dibayangkan?
Panjang umur, perjuangan!
Perjuangan yang sangat menginspirasi, Mbak. Di samping gaya hidup yg serba mendamba kemewahan, ada masyarakat yang justru harus berjuang membangun desanya puluhan tahun. Kini harus berjuang lagi melawan kesewenang-wenangan. Semoga Desa Nusantara dan banyak daerah sekitarnya semakin lestari.
BalasHapusKeren banget Desa Nusantara ya? Sebenarnya kalau mau ada pembangunan di sebuah desa, tujuannya untuk mensejahterakan penduduk desa itu sendiri. Kalau penduduk desa justru merasa tidak tenang, bahkan merasa terancam, harus dipertimbangkan dengan baik dulu. Kesejahteraan batin itu yang terpenting untuk jadi bahan pertimbangan.
BalasHapusMenginspirasi banget tulisan kak Arai ini. Desa di Indonesia banyak yang harus dibenahi ya kak. Semoga ke depannya desa-desa di Indonesia dapat mandiri dan berkembang dengan kemampuan para penduduknya
BalasHapusUntunglah ada Walhi yang membantu memberikan Dana Nusantara buat keberlangsungan Desa Nusantara. Mudah-mudahan para petani di Desa Nusantara jadi lebih sejahtera dan Desa ekologis pun bisa tercapai
BalasHapusDulu saya sering mendengar kisah pilu transmigran. Ada saudara yang melakukannya. Sebelum akses telpon sebaik sekarang ini, kalau tanya mereka akan dijawab entah masih hidup atau tidak. Yah, ga salah sih istilah seperti tempat jin buang anak.
BalasHapusSekarang sudah bagus sekali, tentu saja banyak perjuangan yang harus diapresiasi dan diteladani.
Kondisi daerah transmigrasi mirip banget dengan kampung saya yang memang daerah transmigrasi juga. Mudah-mudahan desa Nusantara jadi inspirasi bagi yang lainnya
BalasHapusmiris membaca cerita2 keserakahan mereka. mereka kaum berduit yang didukung penguasa. yang tidak memperhatikan jeritan rakyat kecil yang berusaha untuk bertahan hidup dan saling menghidupi deengan yg lain
BalasHapusMungkin saya bisa sedikit merasakan karena dulu pernah transmigrasi di awal tahun 90an di Kalimantan. Tinggal di rumah panggung, begitu nyentuh tanah langsung air. Sering kepeleset dan kecebur. Gak pernah panen padi karena begitu padi menguning, air pasang dan kelelep. Akhirnya pulang kembali ke Jawa.
BalasHapusIni toh cerita tentang Hutan Adat Laman Kinipan itu Mbak Aray. Terima kasih sudah menceritakan dengan lengkap.
BalasHapusDesa Nusantara juga sama ya, berjuang sendiri sampai hari ini. Belum sepenuhnya wilayah kelola mereka kembali. Masih sengketa. Semoga keadilan ditegakkan.
Jujur, saya membaca artikel ini dengan pikiran kacau dan merinding. Ya Allah, semoga Indonesia makin peduli rakyatnya agar tidak ada lagi Sukirman-Sukirman lain yg muncul. Terima kasih WALHI atas upaya dan perjuangannya. Semoga semua upayanya berhasil walau tak semudah membalikkan telapak tangan.
BalasHapusbukan apatis tapi memang saya agak lost hope gitu deh kalau berhubungan dengan pemerintah, karena nyatanya pihak pemerintah bukan melindungi masyarakat adat tapi sebaliknya. idealnya kan melindungi ya, tapi faktanya yaaa gitu deh. memang gak semua steakholder ya, semoga kedepannya pemerintah lebih aware dan peduli gak hanya mmeihak pihak pengembang atau swasta saja. saya yakin sih bisa. dinas kehutanan sejauh ini sudah banyak bantu soal ekologi hutan dengan berbagai macam program yang pernah juga saya ikuti. semoga departemen lain juga bisa ikut mendukung.
BalasHapusDesa Nusantara dan desa yang diceritakan melalui artikel ini sungguh menyimpan memori perjuangan mereka sampai sekarang. Bagus dan berbobot artikelnya.
BalasHapusYa Allah, masih ada di negeri tercinta ini yang masih harus berjuang untuk merdeka dengan wilayahnya. Tanahnya rakyat yang bangun dengan perjuangan hampir tanpa bantuan dari pemerintah, tapi kemudian malah mau diambil alih, seperti dijajah oleh kesewenang-wenangan pihak yang mau mengambil keuntungan. Semoga Allah mudahkan perjuangannya
BalasHapusSedih ketika membaca kisah tentang mereka pejuang lahan pertanian yang berbenturan dengan perusahaan berdana besar. Kalau saya jd warga desa nusantara, udah pasti nolak juga dengan tetap mempertahankan 1.200 hektar lahan pertanian yang merupakan aset berharga banget.
BalasHapus