Pulau Lihaga, Likupang, Sulawesi Utara © Arai Amelya |
Kami bersembilan tersenyum dengan lebar dan takjub. Meskipun cerita itu sudah kami lihat secara visual dalam suguhan tari di hari kedua kami berpijak di Manado, tentu terasa sangat berbeda ketika mendengarnya langsung dalam perjalanan ke pantai Paal. Ya, pantai Paal konon menjadi tempat di mana kisah romantis Mamanua ini berasal."Jauh di lubuk hatinya, Mamanua sadar bahwa kecantikan istrinya memang bak bidadari. Hanya saja dia tak pernah menyangka jika Lumalundung benar-benar penghuni Nirwana. Tempat tinggal para Dewa Dewi yang seharusnya penuh bahagia itu justru memisahkan Mamanua dan sang pujaan hati.
Namun perpisahan tidaklah abadi untuk makhluk beda dimensi ini. Ketika Walangsendau menangis mencari sang Ibu, Mamanua berlari melintas bentang alam sambil menggendongnya. Dari Gunung Klabat hingga akhirnya di samudera luas ujung Celebes, Mamanua mengingat betul sabda Lumalundung untuk membawa sang putri mengikuti arah matahari.
Perjalanan menembus ancala itu membawa Mamanua dan Walangsendau ke sebuah gerbang Indraloka. Pintu yang mempertemukan mereka lagi dengan Lumalundung, untuk hidup bahagia selama-lamanya di surga.
Suralaya dengan keindahan luar biasa tak tercela itu kini dikenal dengan nama Likupang"
Tepian pantai Paal di Likupang |
Hari masihlah menunjukkan pukul 10.00 WITA, tapi matahari sudah memancarkan sinarnya tanpa ampun. Kubiarkan mataku menoleh menembus jendela bis, menikmati jalur beraspal rapi yang cukup lengang menuju KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Likupang.
“Dulu jalanan di sini jelek. Tapi setelah Likupang ditetapkan sebagai DSP (Destinasi Super Prioritas), ramai dibahas di media sosial, pembangunan besar-besaran terjadi,” papar sang tour guide sambil tersenyum bangga membingkai kulit wajahnya yang terbakar matahari khas pemuda pesisir pantai itu.
Aku tak menyalahkannya yang begitu bangga.
Masyarakat Likupang memang boleh senang karena wilayahnya terpilih sebagai calon Bali baru bersama Danau Toba, Borobudur, Mandalika dan Labuan Bajo. Bahkan seorang temanku yang fotografer asal Probolinggo sampai terdengar cemburu karena alih-alih Bromo, area yang ada di ujung utara tanah Minahasa ini malah menjadi DSP.
Memang dibandingkan empat DSP lain, sang hidden paradise Sulawesi Utara ini masih kalah termahsyur.
“Likupang itu di mana sih? Deket sama Kupang di Timor?”Pertanyaan seorang sahabatku yang adalah blogger itu mungkin sudah berulang kali kudengar. Bahkan ketika aku mengunggah kisahku menjelajah Likupang pada Maret 2022 di Instagram, jauh lebih banyak lagi yang bertanya soal keberadaan Likupang.
Mereka semua tampak tak percaya bahwa area yang terdengar asing ini justru punya pulau yang luar biasa cantik seperti Lihaga. Banyak yang mengira aku berada di Wakatobi atau Bunaken saat memamerkan hamparan samudera sejernih kristal di depan mata itu.
Bukit Pulisan, Likupang |
“Kami berusaha untuk berbenah. Setelah menjadi DSP dan viral di internet, banyak orang datang ke Likupang. Kami akan membangun akomodasi wisata dan tentunya jaringan internet,” cerita Daud Dalero, Kepala Desa Bahoi.
Bahoi adalah salah satu destinasi yang aku dan delapan orang temanku dari seluruh penjuru Indonesia lainnya datangi, dalam undangan trip bersama Kemenparekraf ini. Sebagai Desa Wisata, Bahoi masih dipengaruhi budaya tradisional Sangihe yang begitu kuat. Menawarkan ecotourism, Bahoi mengajak kami berjalan menelusuri vegetasi mangrove yang mereka miliki.
Sepanjang jalan menuju ujung Tanjung Kamala Watuline, jajaran bakau Rhizophora Mucronata, Rhizophora Apiculata, Bruguiera Gymnorrhiza, Bruguiera Cylindrical dan Sonneratia Alba menyambutku. Sangat menakjubkan melihat akar-akar napas Sonneratia Alba mencuat dari tanah, mencoba menahan arus air laut ke daratan manusia.
Mangrove di Bahoi, Likupang |
Tentu aku jelas sangat sepakat dengan pendapat Vanda. Aku melihat dengan sendiri bagaimana Likupang yang baru saja terlahir sebagai DSP sejak Juli 2019 ini mengalami perubahan yang luar biasa dalam hal pembangunan.
Tiga desa dipilih sebagai pusat pembangunan homestay-homestay untuk menyambut gelombang wisatawan. Ketiga desa itu adalah Pulisan, Kinunang dan Marinsow. Sekitar 263 rumah disulap menjadi bangunan homestay sederhana dengan material kayu.
Homestay di Marinsow, Likupang |
Bahkan dalam waktu lima tahun terakhir sebelum pandemi Covid-19, Likupang mencatat pertambahan tingkat kunjungan wisatawan baik asing atau domestik tertinggi di Indonesia (tanpa menghitung Bali).
Di mana puncaknya pada tahun 2019, ada lebih dari 153 ribu turis luar negeri dan 2,2 juta wisatawan domestik yang berkunjung. Dari jumlah itu, wisatawan asal Tiongkok mendominasi, menjadikan bukti tak terbantahkan kenapa Likupang layak bergelar DSP.
“Banyak orang yang masih belum mengetahui potensi Likupang. Karena itulah kalian bersembilan kami undang ke sini. Silahkan tulis, potret dan rekam sebanyak mungkin soal Likupang. Ceritakan secara indah, agar orang-orang tertarik ke Likupang. Kami menunggu tulisan kalian di blog,” papar Rizky Handayani selaku Deputi Bidang Produk Wisata & Penyelenggaraan Kegiatan Kemenparekraf.
Kalimat yang kudengar di sela-sela perjamuan makan malam kami di Padies Kimuwu, Warembungan itu memang begitu menggetarkan. Bak palu godam yang menghentak dinding, aku seperti disadarkan bahwa internet memegang peranan yang sangat penting dalam penyebaran destinasi-destinasi wisata indah menggetarkan hati milik Nusantara.
Ya, internet adalah sang tulang punggung.
Sebuah alasan yang membuatku begitu serius mengejar asa menjadi seorang traveler blogger.
Storynomic, Strategi Kenalkan Indonesia Jelajah Dunia
“Kami kemarin juga ke Bromo tapi sayang tidak bisa melihat Kasodo. Dari Malang kami berdua naik sepeda motor, sungguh melelahkan dan membuat punggung capek karena cukup jauh"Laki-laki bule itu bercerita dengan riang, usai aku menyapanya. Di sebelahnya, sang kekasih yang sedang sibuk mengabadikan bentang alam Tumpak Sewu ikut mengangguk dan tersenyum. Rambut pirang panjangnya tampak sedikit melambai karena angin dan deburan air dari salah satu air terjun terpopuler di Indonesia itu.
Kulihat smartwatch di pergelangan tangan kananku, masih pukul enam pagi. Lumajang yang semalam diguyur hujan deras, melahirkan semburat kabut tipis di Pronojiwo. Aku dan temanku yang adalah fotografer memang sengaja tiba di Tumpak Sewu lebih awal dengan alasan ingin lebih puas mengabadikan pesona curug di kaki gunung Semeru ini. Namun ternyata bukan hanya kami berdua yang berpikir demikian, karena pasangan asal Kanada ini juga melakukan hal serupa.
Ribuan kilometer jelas mereka lalui, melintasi benua dan angkasa demi sampai di ‘mahkota’ Pronojiwo ini. Tujuan mereka terpampang nyata. Ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri, air terjun yang begitu termahsyur di media sosial itu.
“Pemandangannya memang begitu indah. Jauh lebih bagus daripada yang terlihat di internet,” lanjutnya menatap kami dengan senyumannya. Sepasang matanya dan sang kekasih tak bisa lepas dari layar pengontrol drone. Binar-binar ketakjuban yang sulit untuk diredam.
Sesuatu yang juga kulakukan saat mengintip mayapada Tumpak Sewu dari layar drone rekanku.
Pemandangan Tumpak Sewu dan Semeru di Lumajang |
Geliat ingin tahu yang sama itu pula, membawaku terbang ke Toraja, Sulawesi Selatan pada Oktober 2021 kemarin berkat undangan Toraja Highland Festival.
Sudah sejak lama aku memang menjadikan Toraja sebagai salah satu destinasi impian. Aku masih ingat saat bekerja sebagai pegawai media online beberapa tahun lalu, potret-potret dan kisah narasi media luar negeri seperti The Sun, CNN, Daily Mail sampai National Geographic yang meliput tradisi ‘membangkitkan mayat’ Manene di Toraja itu, begitu membiusku.
Ritual Manene di Toraja Utara © Brian Lehmann/National Geographic |
Kekuatan narasi itu pula yang diamini oleh Aris Prasetyo, wartawan ekspedisi Wallace Kompas lewat istilah storynomic tourism yang dia kenalkan. Dalam paparannya di event konferensi internasional Likupang itu, Aris menegaskan bahwa penguatan narasi dalam bercerita entah lewat tulisan atau foto/video adalah strategi wisata Indonesia di masa depan.
Berkolaborasi dengan digital tourism, storynomic akan mampu menggelindingkan semangat bagi para pelaku wisata dan ekonomi kreatif yang kini tengah bangkit bersama usai wabah corona.
Kedua strategi ini tak hanya sekadar mengenalkan, tapi juga menyebarkan keindahan pariwisata Indonesia di berbagai digital platform lewat penjelasan yang begitu merayu.
Apalagi tren liburan saat ini juga semakin digital.
Normal sebagai wisatawan kita suka mempersiapkan terlebih dulu rencana perjalanan atau itinerary dan melakukan pre-on-post journey, sampai akhirnya berkunjung ke lokasi. Di mana seluruh rangkaian kegiatan itu jelas dilakukan dengan perantara informasi di internet.
Sayup-sayup aku seperti mendengar kalimat Haris, seorang tour guide yang menemaniku dan rombongan dalam undangan Kemenparekraf lainnya di Lombok bulan Desember 2021 lalu.
Sirkuit Mandalika, Lombok |
Lagi-lagi internet.
Tol Langit, Sumpah Palapa di Era Digital
Mengawinkan internet dan pariwisata jelas bukanlah sesuatu yang mustahil. Kita bisa dengan mudah menemukan postingan-postingan tempat wisata yang tengah viral di media sosial, sehingga mampu menaikkan minat masyarakat untuk berkunjung dan akhirnya membangkitkan perekonomian di tempat tersebut.Selain Tumpak Sewu di Lumajang, Ranu Manduro yang berada di Mojokerto sampai Bukit Wairinding di Sumba juga berhasil mencicip tuah popularitas di dunia maya. Sebuah bukti bahwa internet mampu mengubah destinasi wisata kurang dikenal, menjadi mega populer.
Indahnya pemandangan dalam jepretan-jepretan kamera, rekaman aerial drone sampai narasi-narasi yang menyentuh hati dari sebuah destinasi berkat strategi storynomic tourism dan berujung trending di internet, tak dipungkiri lagi menjadi masa depan sektor unggulan devisa negara ini.
Di pundak para content creator entah selebgram, selebtwit, Youtuber, fotografer, vlogger maupun blogger sepertiku, kisah-kisah tempat wisata ini akan disalurkan ke seluruh dunia lewat perantara sistem komunikasi global yang menghubungkan komputer-komputer di seluruh dunia bernama internet.
Seperti tubuh kita yang dipenuhi sistem saraf dari otak hingga ujung kaki, seperti itulah internet bertugas menghubungkan ‘tubuh’ yang luar biasa besar bernama Bumi. Kalau boleh meminjam istilah sang pendiri Microsoft, Bill Gates, internet merupakan bagian dalam sistem saraf digital.
Frase itu pula yang menurut I Made Ariana, menugaskan internet untuk merasakan kesadaran global. Sebuah kemampuan mengumpulkan informasi tentang situasi secara akurat dan terus-menerus, di manapun dari berbagai belahan Bumi.
Tentu jika dikaitkan dengan fungsinya di bidang pariwisata, kebutuhan akan jaringan internet yang inklusif bagi setiap warga negara, bolehlah ditambahkan dalam kitab perundangan di masa depan.
Mustahil bagi kita untuk mengetahui adanya lukisan purba tempat suku Dani bermukim di goa Kontilola, Wamena yang begitu gempar oleh teori kehadiran alien, atau memacu adrenalin saat menyeberang dengan kursi gantung di pantai Timang, Gunung Kidul sana, tanpa adanya informasi yang disampaikan di internet.
Bahkan ketika pandemi Covid-19 melanda dan industri pariwisata limbung karena kebijakan pembatasan sosial, internet membantu sektor ini tetap berdenyut. Usaha itu terlihat lewat berbagai event-event budaya virtual seperti Dieng Culture Festival, pameran seni kontemporer ARTJOG sampai program #MusikaldiRumahAja yang digelar oleh IndonesiaKaya demi mengenalkan cerita-cerita rakyat asli Nusantara secara online.
Internet adalah segalanya.
Internet adalah hak bagi segala bangsa.
“Lamun huwus kalah Nuswantara isun amukti Palapa. Lamun kalah ring gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana isun amukti Palapa”Sumpah yang dilontarkan Gajah Mada saat diangkat sebagai Patih Amangkubhumi Majapahit di tahun 1258 Saka itu memang begitu menggetarkan hati. Jika di masa itu sang Mahapatih bersumpah tak akan makan sebelum menggabungkan seluruh Nusantara, maka di masa kini sumpah itu menginspirasi pemerintah lewat sebuah megaproyek ambisius bernama Tol Langit alias Palapa Ring.
Dilansir Kompas, Palapa Ring merupakan proyek jaringan serat optik yang bertujuan untuk memeratakan kualitas internet di seluruh wilayah Indonesia, tanpa adanya kesenjangan.
Disebut sebagai Tol Langit karena memang Palapa Ring ini menggunakan satelit-satelit di angkasa sehingga menghubungkan broadband dan berbagai hal lain, seolah-olah ada jalan tak terlihat di dirgantara sana.
Sumber Infografis: KOMPAS |
Setidaknya ada sekitar 57 kabupaten dan kota terpencil di Indonesia yang dilewati oleh Tol Langit. Dari ujung barat hingga pucuk timur, ada total 36 ribu kilometer serat optik baik kabel darat dan kabel laut yang bertugas menyatukan 514 kabupaten/kota di seluruh Nusantara. Puluhan ribu kilometer serat-serat optik ini menjangkau luas wilayah nasional Indonesia yakni 7,8 juta kilometer persegi dengan 1,9 juta kilometer persegi di antaranya adalah daratan dengan 17.500 pulau.
“Kita berharap di akhir tahun 2022 nanti seluruh wilayah di Indonesia hingga desa-desa sudah tersedia sinyal internet 4G. Sekarang kita pakai sembilan satelit dengan lima di antaranya milik nasional,” jelas Menkominfo Johnny G. Plate seperti dilansir Antara.
Aah, aku jadi ingat ucapan Bupati Minahasa Utara, Joune Ganda mengenai jaringan internet di Likupang yang jadi bagian pembangunan infrastruktur demi memenuhi statusnya sebagai DSP. Tak hanya sekadar 4G, Likupang kini tengah membangun sistem jaringan 5G.
Melibatkan seluruh operator telekomunikasi di negeri ini, Telkom Indonesia adalah salah satu yang akan mengajak kita melintasi Tol Langit itu.
Lewat IndiHome, Telkom Indonesia menjalankan tugasnya sebagai agen perubahan. Menguatkan posisi mereka sebagai satu-satunya operator layanan FTTH (Fiber to the Home) yang membangun infrastruktur dari backbone sampai jaringan akses yang melayani Sabang sampai Merauke.
Layanan internetnya pun menembus wilayah pelosok terutama di Timur Indonesia termasuk kawasan-kawasan 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Area terpinggirkan yang sudah saatnya merasakan hembusan napas serat optik.
IndiHome, Penggerak Masa Depan Zamrud Khatulistiwa
“Mah, kalau nanti tetangga atau tante-tante dan om-om di grup WA tanya, bilang aja aku kerjanya ternak lele atau ikut pesugihan gunung Kawi,”Aku tidak bercanda.
Kedua orangtuaku, bahkan kakak dan adikku memang kuminta menjelaskan hal demikian ketika ada orang bertanya apa pekerjaanku saat ini. Setelah keluar dari media online beberapa tahun lalu, aku memang memilih untuk menikmati hari-hari di rumah sebagai seorang penulis lepas yang akhirnya membawaku menggeluti profesi blogger.
Rasa-rasanya aku terlalu lelah jika harus menjelaskan bagaimana seorang blogger memperoleh uang.
Toh, mereka terdengar tak percaya ketika aku tiga kali mendapat undangan gratis bersama Kemenparekraf untuk liburan cuma-cuma, bermodalkan tulisanku di blog. Aku memang patut berbangga, blog yang kalian baca ini baru akan genap berusia dua tahun pada September 2022 nanti, tetapi dia sudah berhasil membawaku terbang menembus batas provinsi dan pulau hingga zona waktu.
Aku tak pernah menduga bahwa keinginan kecilku bertahun-tahun lalu untuk bisa liburan gratis bakal terwujud ketika pandemi Covid-19. Semua bisa terjadi hanya bermodalkan laptop kesayanganku dan tentunya jaringan internet.
Sebanding dengan oksigen, internet adalah entitas yang sangat penting bagi seorang digital nomad sepertiku.
Sebelum aku memutuskan memasang IndiHome hampir tiga tahun yang lalu, aku sebelumnya adalah pengguna Telkom Speedy bahkan sejak masih sekolah. Setelah disuntik mati oleh Telkom Indonesia pada tahun 2015, IndiHome lah yang menjadi perantaraku untuk melihat dunia.
Meski rumahku ada begitu dekat dengan kaki gunung Arjuno, aku tak pernah kehilangan momen memperoleh informasi dari seantero Planet Biru, di waktu yang relatif bersamaan.
Internet juga membawaku mengikuti berbagai seminar-seminar via Zoom baik untuk keperluanku sebagai penulis skenario, hingga hobi baruku di bidang fotografi. Bahkan lebih lanjut, internet jugalah yang memperpanjang napas kisah-kisah pengembaraanku baik tulisan, foto hingga video-video dengan ukuran file cukup jahanam itu.
Produk IndiHome dan akunku di aplikasi myIndiHome |
Bagiku, IndiHome lebih dari sekadar istimewa untuk dianggap sebagai ikon internetnya Indonesia.
Merangkai Asa Panjang Bersama IndiHome
Tetap bekerja online di Bandara Makassar jelang boarding |
Untuk penggunaan di rumahku, IndiHome yang terpasang adalah layanan Internet Only (1P) Up To 20 Mbps dengan tarif Rp286 ribu per bulan. Setidaknya di rumahku, ada empat sampai lima gawai yang tersambung ke WiFi IndiHome di waktu bersamaan, tanpa adanya keluhan akses internet merambat.
Aku sebagai pengguna kuota terbanyak di rumah memakai IndiHome untuk berbagai kebutuhan digital. Mulai dari mengumpulkan informasi penulisan artikel yang selalu membuka halaman demi halaman browser, timeline media sosial, webinar di Zoom atau Google Meet, unggah dan download video spesifikasi tinggi hingga tentunya menonton film atau serial di Netflix maupun Disney Hotstar.
Kedua orangtuaku yang meskipun generasi boomer, kini sudah begitu terbiasa dengan jaringan internet. Mereka tak hanya memakai internet untuk mengirimkan stiker di WhatsApp Grup, tapi juga sering terlihat sedang tergelak sendiri ketika membuka TikTok maupun YouTube, mencari konten-konten menarik, meskipun kadang sedikit tertipu oleh hoax.
Sedangkan kakak dan adikku sudah pasti akan terlihat serius menatap gadget masing-masing untuk keperluan game online.
Semua kegiatan yang sudah pasti membutuhkan bandwith gila-gilaan itu membuat kami berlima memang seolah bak kiamat ketika akses internet tiada.
Beruntung selama beberapa tahun sebagai pelanggan IndiHome, aku setidaknya hanya tiga kali mengalami gangguan. Itupun karena kabel yang putus lantaran angin super kencang melintasi pemukimanku, masalah di perangkat ODP (Optical Distribution Point) dan musibah kabel laut nasional beberapa waktu lalu.
Lewat aplikasi MyIndiHome yang kupasang di ponsel, segala keluhan itupun teratasi dalam waktu sangat singkat dan begitu interaktif. Bahkan kendati yang layanan internetnya bermasalah hanya di rumahku, setidaknya ada 3-5 petugas IndiHome yang datang berkunjung untuk memeriksa.
Kalau boleh kuingat, kunjungan para petugas IndiHome itu hanya membutuhkan waktu 30 menit sampai satu jam setelah aku menyampaikan keluhan di MyIndiHome maupun akun Twitter resmi IndiHome.
Dengan begitu sigap, petugas-petugas itu melakukan pengecekan mulai dari kondisi modem IndiHome di dalam rumah, instalasi kabel yang terpasang hingga akhirnya sampai di kotak ODP pada tiang dekat rumah. Bekerja dalam diam, para petugas itu pun tidak meminta bayaran sepeserpun setelah menyelesaikan berbagai kendala jaringan internet.
Sebuah alasan lain kenapa aku memang begitu puas dengan IndiHome.
Selain produk WiFi di rumah, layanan IndiHome lain yang begitu membantu kecanduanku pada internet adalah Wifi.id Seamless.
Jaringan luas Wifi.id dengan kecepatan internet hingga 100 Mbps ini hanya membutuhkan biaya Rp10 ribu per bulan untuk satu perangkat. Yang menarik, ada ribuan titik Wifi.id di seluruh Indonesia yang bisa kumanfaatkan.
Selain produk WiFi di rumah, layanan IndiHome lain yang begitu membantu kecanduanku pada internet adalah Wifi.id Seamless.
Jaringan luas Wifi.id dengan kecepatan internet hingga 100 Mbps ini hanya membutuhkan biaya Rp10 ribu per bulan untuk satu perangkat. Yang menarik, ada ribuan titik Wifi.id di seluruh Indonesia yang bisa kumanfaatkan.
lokasi wifi.id Seamless di Indonesia |
Cuma bermodalkan nomor langganan IndiHome di rumah, aku tinggal menyambungkan perangkat ke jaringan seamless@wifi.id untuk memperoleh akses internet super cepat.
Kisah lain juga terjadi saat aku harus mengunggah postingan blog ketika berada di Sembalun dan jaringan internet penginapan tengah bermasalah, IndiHome rupanya menyediakan Wifi.id di kaki gunung Rinjani tersebut. Sekali lagi membuktikan kapasitas Telkom Indonesia sebagai penyalur utama Tol Langit Nusantara.
Berkaca pada laporan We Are Social per Januari 2022, tentu kini aku sang pengembara digital bergabung dalam kelompok 204,7 juta pengguna internet di Indonesia. Jumlah itu turut mempengaruhi tingkat penetrasi internet di Tanah Air sudah mencapai 73,7% dari total penduduk. Indikasi kuat kalau masyarakat negeri ini sangat tergantung dengan internet.
Sumber infografis: akun Twitter @TelkomPromo |
Sebagai satu dari ratusan juta orang penjelajah dunia maya, aku adalah saksi yang merasakan betul betapa luar biasanya manfaat internet dalam berbagai sendi kehidupan. Manfaat yang bisa disebut tidak terbatas ini adalah sebuah anugerah bagi setiap makhluk berakal.
Mau tak mau aku sepakat dengan pemaparan Christine Hine dalam buku yang dia tulis bertajuk Etnografia Virtual (2000). Menurut Hine, internet adalah artefak kebudayaan (cultural artefact). Karena memang internet bukanlah sekadar jaringan komputer yang berinteraksi, tapi sebuah komoditas.
Kini, jalanku sebagai seorang traveler blogger memang baru saja dimulai, tapi api semangat untuk terus menyiarkan keindahan negeri bisa kupastikan akan terus berkobar. Lidah-lidah api itu tak akan terhenti, bahkan terus menggelora, siap menembus tapal batas budaya dan mayapada Nusantara.
Lewat kekuatan tulisan, aku akan menyentuh hati lebih banyak orang tak dikenal dari penjuru Midgard. Para pengembara dunia maya yang mencari kepingan-kepingan nirwana di Zamrud Khatulistiwa.
Kuharap itu semua bisa kulakukan bersama IndiHome.
“Di sinilah kita berada, di pusat sumber ledakan katastropik purba berusia 74 ribu tahun. Ledakan terdahsyat sepanjang peradaban manusia yang sampai mengubah tatanan Bumi. Planet ini berguncang hingga skala 8 VEI, dimuntahi 2.500 kilometer kubik lava bersuhu 1300°C dan menelan nyawa 60% makhluk hidup di atasnya.
Guncangan mematikan yang sangat mengerikan itu kini menjelma menjadi surga di Indonesia, bernama Danau Toba”
Danau Toba, Sumatera Utara © Dio Hasibuan/UNSPLASH |
Keren banget Indihome bikin serasa punya tol langit tanpa batas, ya. Artikelnya keren, Say. Aku cuma bisa nganga...
BalasHapusDitutup mbak, nanti ada lalat mampir
HapusCeritanya seru sekali, Mbak. Dan Indonesia memang sangat indah dan memikat dengan beragam budaya juga. Saya jadi mupeng ke Likupang. Dan sebenarnya, saya pengin ngebolang naik mobil menyusuri Indonesia hehhee. Tapi Alhamdulillah, walau belum ke sana, saya tetap bisa menikmati dulu lewat internet dan mencari tahu lebih dalam. Jadi saat mengunjungi salah satu daerah wisata, saya sudah banyak paham.
BalasHapusHadirnya internet jadi memudahkan banyak orang untuk mengenal daerah meski belum berkunjung ke sana. Apalagi buat daku yang dengan tulisannya kak Arai ini jadi serasa ikut berada di lokasi
BalasHapusWah keren nih IndiHome yaa Kak, julukan sebagai Tol Langit memang sudah patut disandang oleh IndiHome.
BalasHapusTapi mupeng juga lihat foto-foto travelling nya Kak. Nice pictures, Kak.
Baca cerita Likupang dan pantainya yang indah. Aku jadi membayangkan gimana situasi dan kondisi yang ada semisal cerita itu benar terjadi. Aku suka begitu sih.
BalasHapusInternet emang cocok sih untuk salah satu usaha memublikasikan keindahan panorama yang ada di Likupang.
Tak akan lama menyebarnya. Percaya deh.
Keren banget ya Likupang. Mupeng wisata alam kemana-mana lagii.. saya belum sempat ke tumpaksewu.. keren banget itu.. deket aja loh pdhal dr malang.. btw kirain apa kok ada tol langit ternyata palapa ring ya.. maksud fast internet nya Indihome? Memang pantes dibilang gitu soalnya waswuswaswuss
BalasHapusMasya Allah aku serasa hanyut dibawa cerita-ceritanya. Foto pendukungnya juga cakep-cakep banget. Sama deh mba zaman sekolah dulu aku juga pakai speedy haha.. sekarang tentu saja pakai indihome. Urusan internetan lancar terus.
BalasHapusSeneng banget deh udah keliling Indonesia dan menikmati keindahan alam Indonesia yang luar biasa. Memang benar kehadiran internet bisa membantu meningkatkan pariwisata Indonesia.
BalasHapuskeren banget kaaaak, apapun dan dimanapun kita berada, IndiHome emang selalu ada di sana, eaaa. Aku paling tertarik sama petualangannya di Toraja, sampe sekarang masih penasaran prosesi pemakamannya, duh semoga bisa kesana yaaa, aamiin!
BalasHapusKereen ulasannya, satu frekuensi kita sama2 tukang ukur jalan alias ngebolang, dari sekian crita impianku sejak dulu pengen melihat upacara di tana toraja.
BalasHapusSemoga tahun ini bisa terealisasi, berkat internet apa aja bisa yaa mulai hunting tiket murah sampai kuliner akomodasi dkk.
Gusti yeni
seru yaaaa bisa menikmati keindahan Indonesia yang sangat kaya apalagi bisa mengabadikan setiap momen. dengan keberadaan internet, kita bisa berbagi cerita tentang apa yang sudah dilihat dan dirasa. keren banget!
BalasHapusMembaca tulisan kak Arai serasa keliling Indonesia.
BalasHapusLengkap banget dari menikmati keindahan alam Likupang lanjut Bromo lalu terbang ke Toraja, Sulawesi Selatan, menikmati Toraja Highland Festival dan berakhir di Lombok.
Melihat adanya megaproyek "Tol Langit", semoga jaringan internet tanpa batas yang bisa dinikmati seluruh masyarakat hingga ke pelosok negeri.
Indonesia dijelajahi sampai kapan pun kayaknya gak bakal kehabisan destinasi. Selalu ada yang baru dan menarik. Keren
BalasHapusTempatnya indah, jadi pngn liburan kesana kak.. Soalnya banyak bngt destinasi di indo yg blm sy kunjungi, khususnya luar pulau jawa.
BalasHapusAku selalu tertarik baca2 artikel tentang travelling mbak. Meskipun capek, tapi dapet pemandangan yg cantik dan selalu ada insight baru ya, salah satunya tentang koneksi internet ini
BalasHapuskok aku ngiri ngeliat fotomu yang udah kemana2 itu mbaa.. duuhh toloong aku juga kepengin ke toraja. selalu penasaran ama tradisi dan prosesi yang sangat bernilai di sana
BalasHapusKak keren banget sih :) bersyukur ya sekarang berkat indihome, internet biaa terjangkau kemana-mana bahkan sampai pelosokdaerah ya :)
BalasHapusKalau jaringan internet kenceng wus wus kek indihome begini makin semangat buat nulis dan ngonten sosmed ya.
BalasHapusBener sih, berkat internet kita jadi banyak tau tentang alam Indonesia.
BalasHapusJadi pengen berpetualang ke sana kemari karena melihat indahnya Indonesia melalui internet.
Btw, sebagai pengguna Indihome, aku seneng banget sih sama kualitas dan pelayanannya.