© Choirul Hisyam |
Setiap bulan puasa Ramadhan seperti sekarang, aku selalu teringat dengan salah satu aktivitas nekat yang pernah kulakukan.
Apa itu?
Mendaki
gunung.
Tunggu,
mendaki gunung saat Ramadhan?
Benar.
Aku pernah
melakukannya bersama beberapa temanku waktu kami masih bekerja sekantor di
salah satu situs entertainment
terbesar di Indonesia. Saat itu kami memilih Penanggungan yang berada di perbatasan
Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan itu, sebagai gunung yang bakal
didaki.
Sebuah
perjalanan pendakian yang berawal dari aktivitas gabut dan kebosanan di kantor,
membuat kami yang sebelumnya sudah pernah ke Panderman, Semeru dan Arjuno
bersama ini akhirnya sepakat berangkat. Apalagi kata banyak orang, Penanggungan
adalah salah satu gunung yang cocok untuk pemula, sehingga kami yang notabene adalah hikers abal-abal ini semakin semangat berangkat, sampai
menggadaikan jam-jam sholat Tarawih dan berbuka puasa bersama keluarga
tercinta.
Maklumlah,
waktu itu (hingga sekarang) kami masihlah rombongan yang muda dan berbahaya.
Perjalanan ke Penanggungan dari Malang
penampakan kami berenam di tenda puncak Bayangan, Penanggungan |
Berstatus
sebagai budak korporat, kami waktu itu memutuskan untuk memulai perjalanan ke
Penanggungan di sore hari. Memang sudah jadi kebiasaan kami untuk mendaki di
malam hari, karena menurutku jauh lebih menyenangkan. Pendakian di malam hari relatif
tidak cepat capek, karena udara yang dingin dan gelapnya malam membuat kita
lebih fokus pada jalan-jalan setapak yang dipijak.
Intinya, tau-tau udah sampe puncak ajalah.
Dan tiba di
hari yang disepakati, kami berkumpul di Supermarket Giant (sekarang sudah
bangkrut) yang terletak di depan pabrik rokok Bentoel, di dekat Pintu Gerbang
Tol Singosari. Seperti biasa aku hanya membawa daypack karena pendakian Penanggungan memang hanya membutuhkan
waktu dua hari satu malam saja.
Waktu itu kami
berenam hanya menggunakan tiga unit sepeda motor sebagai alat transportasi
menuju Tamiajeng.
Hanya saja
karena pendakian ini berlangsung di bulan Ramadhan dan kami berangkat dalam
kondisi puasa, kami akhirnya mampir ke rumah temannya mas Otus untuk numpang berbuka.
Sebagai orang yang tidak bisa naik gunung tanpa makan nasi, waktu itu kubiarkan
diriku memang melahap segala makanan dengan rakus.
Tanpa sadar
karena terlalu kenyang makan, waktu kami di rumah teman mas Otus yang berada di
Pandaan pun akhirnya overtime. Lebih dari pukul 21.00 WIB kala itu, kami meninggalkan Pandaan menuju Tretes.
Setelah mampir
di minimarket untuk membeli tambahan air mineral, susu, madu dan coklat
batangan yang menjadi tiga item wajib
bagiku setiap mendaki gunung, kami langsung melanjutkan perjalanan langsung
melewati terminal Trawas dan akhirnya sampai di pos pendakian Tamiajeng.
Pendakian Gunung Penanggungan Lewat Tamiajeng
Untuk bisa
mendaki Penanggungan sebetulnya ada lima jalur resmi yang tersedia yaitu:
- Pendakian lewat Tamiajeng, Trawas
- Pendakian lewat Ngoro, Mojokerto
- Pendakian lewat Kedungudi, Trawas
- Pendakian lewat Jolotundo, Trawas
- Pendakian lewat Wonosuryo, Betro, Gempol
Hanya saja mas
Otus saat itu menyarankan agar kami melewati Tamiajeng yang memang merupakan
jalur paling favorit bagi pendaki ke Penanggungan. Meskipun karena lewat
Tamiajeng, kami harus rela tidak menemukan satu sumber air pun sepanjang
perjalanan.
Pos Pendakian – Pos 2
Sekitar pukul 22.30
WIB kami berenam sudah tiba di Pos Pendakian. Setelah memarkirkan sepeda motor
di dekat rumah-rumah warga, kami pun melakukan pendaftaran pendaki seperti
normalnya naik gunung. Tentu saja yang mengurusi semua administrasi adalah mas
Otus dan Lila saat itu.
Usai buang air kecil dan berkumpul untuk berdoa, kami pun mengenakan headlamp karena memang apa yang kalian harapkan saat naik gunung di malam hari?
Ada lampu Philips berjajar terpasang di jalurnya?
Trek pertama
yang kami lewati usai dari Pos Pendakian adalah jalanan berbatu yang mulai menanjak hingga Pos 1. Menuju Pos 2, trek mulai berubah menjadi jalan tanah dan
rumput-rumput liar yang kanan-kirinya dipenuhi pepohonan dan semak khas gunung.
Biasanya vegetasi seperti ini dijuluki sebagai hutan Montane. Kalian bisa
menemukan beberapa gubuk di sepanjang jalan ini yang memang kalau malam,
semuanya jelas sepi dan kosong.
Bagi pendaki
profesional biasanya perjalanan dari Pos Pendakian menuju Pos 2 cuma
membutuhkan waktu 30 menit saja. Namun karena kami berjalan di malam hari dan
sering duduk rebahan mengatur napas, perjalanan saat itu sepertinya lebih
panjang.
Formasi kami
masih sama, laki-laki di bagian awal dan akhir barisan. Di mana mas Otus
berjalan terdepan dan Guntur ada di posisi belakang, sedangkan empat perempuan
lainnya mengisi bergantian di barisan tengah.
Pos 2 – Pos 4
© Manusia Lembah |
Lepas dari Pos
2, trek sudah sampai di jalur tanah yang lebih padat tapi juga makin menanjak.
Normal kalau kalian mulai merasakan lelah apalagi jalur Tamiajeng ini bisa
dibilang ‘tak ada bonus’ dan semuanya harus menuju puncak.
Kami yang
sebelumnya masih bercanda dan mendengarkan dongeng mas Otus bahwa Penanggungan
diyakini sebagai salah satu gunung suci di Pulau Jawa ini, akhirnya mulai sibuk mengatur
napas. Duduk berjam-jam di depan komputer, sungguh menghajar kemampuan metabolisme dan kekuatan otot kami. Padahal sebetulnya tidak terlalu jauh jalur Pos 2 dan Pos 3, hanya saja kalian
harus siap full trekking dan membuat
kaki memang harus lebih kuat daripada biasanya.
Setelah
melepas lelah sejenak di shelter
kecil pada Pos 3 yang berada di tepi jalur pendakian, kami pun berlanjut ke Pos
4 yang jauh lebih ‘jahanam’. Dengan jalur yang terus menanjak, aku merasa
makanan yang kusantap waktu berbuka sudah hilang entah ke mana.
Untung saja
kami mendaki di musim panas saat bulan Juni waktu itu, sehingga kondisi trek
begitu kering. Bisa dibayangkan jika mendaki Penanggungan lewat Tamiajeng di
musim hujan, jalur menuju Pos 4 sudah pasti akan cukup lincin. Bagi pendaki
pengalaman, biasanya Pos 2 sampai Pos 4 bisa ditempuh dalam waktu 60 menit.
Pos 4 – Puncak Bayangan
Gunung Arjuno-Welirang dari Puncak Bayangan Penanggungan |
Perjuangan sepertinya
belum selesai karena perjalanan dari Pos 4 ke Puncak Bayangan bisa dibilang
lebih nelongso.
Trek di jalur
ini tak hanya menanjak saja, tapi juga berbelok-belok dan ada yang sempit, sehingga membuatku harus benar-benar fokus
melihat jalur yang kupijak dengan headlamp.
Kami satu rombongan beberapa kali berhenti, mengatur napas, minum air atau
merebahkan punggung. Kala itu waktu sudah menunjukkan lebih dari pukul 00.00
WIB.
Angin dingin
semakin berhembus kencang saat kami sudah makin dekat dengan Puncak Bayangan
Gunung Penanggungan. Dengan jalur yang cukup berat, kami membutuhkan waktu
lebih dari satu jam untuk sampai. Vegetasi di tempat ini sudah sangat berbeda
yakni padang rerumputan (stepa pegunungan) yang didominasi gelagah, alang-alang
serta pepohonan kaliandra.
Usai menemukan
tempat untuk mendirikan tenda, aku langsung rebahan dan mencoba menyesuaikan
napas karena dari ketinggian ini, oksigen memang sudah mulai berkurang.
Hampir-hampir tenda sulit kami dirikan kala itu karena angin di area Puncak
Bayangan benar-benar berhembus sangat kencang. Kami pun butuh waktu yang cukup lama untuk bisa mendirikan tenda. Sementara di dekat-dekat kami, sudah ada banyak para pendaki lain yang telah tiba lebih dulu.
Dari tempatku berada, aku bisa melihat lampu-lampu rumah di Mojokerto berpendar begitu syahdu di bawah sana.
Sementara itu sosok yang gagah berdiri di depan kami, Gunung Arjuno-Welirang seolah memberikan salam di pagi hari yang sangat dingin itu.
Aku melirik jam tangan, sekitar pukul setengah tiga dini hari.
Ulala, cakep, sudah 10 tahun lebih aku tidak mendaki, kangen suasana, keren nih gunung, moga next kesampaian mendaki, salam dari Bali kak
BalasHapusPerjuangannya berbuah manis ya Mbak. Cakep banget pemandangan dari atas Penanggungan. Nyerahlah aku kalau naik gunung...Hebat mb Arai semangat...
BalasHapusLuar biasa cerita pengalaman mendaki gunungnya. Apalah aku yang jalan bentar aja udah ngos-ngosan apalagi mendaki gunung ya
BalasHapusWaah, serunya yang bisa muncak. Saya terakhir muncak itu tahun 2018. Mendaki puncak Ciremai. Pengalaman yang luar biasa, memang butuh effort besar untuk bisa naik ke puncak. Sampai berpikir untuk cukup sekali saja muncak ke Ciremai hahaha
BalasHapusCantiknya 😍😍😍 pegunungan gitu bikin relaks, ya, Kak ... Adem pula.
BalasHapusKeren banget, puasa ngedaki. Kalau aku udah pasti angkat bendera putih mbak. Wkwkwk.. udah kebayang ngos-ngosannya. Tapi sebanding lah ya, pemandangan puncak Pawitra, Penanggungan ini cakep banget
BalasHapusDaku sepertinya akan ngos-ngosan kalau pas bulan puasa, eh gak bulan puasa pun juga akan begitu hehe.
BalasHapusYang pasti serunya kebangetan ya Uni Arai dan semoga bisa kembali ke
puncak gunung Penanggungan
AKu gak pernah anggap mudah setiap perjuangan menaklukkan gunung ini pasti punya kisahnya masing-masing yaa..
BalasHapusDan uniknya, jadi tahu nih Puncak Pawitra yang tandus dan gak ada tanda-tanda kehidupan.
Kerennya pendaki itu mau bekerja keras dan menaklukkan kekuatan tubuh dan mental. Pada akhirnya bisa mendapatkan keindahan alam ketika sudah sampai di puncak. AKu tak sanggup membayangkan bisa mendaki ketika puasa. Wah bisa tepar.
BalasHapusAku pengen bangetttt tapii takut ga kuat. Takut kesasar dan ketakutan-ketakutan yang lain yang biasa ramai diberitakan di luar sana.
BalasHapuskayaknya seneng banget deh nih bisa naik gunung, ya. Saya kok nggak ada pengalaman mendaki gunung gini.
BalasHapuswaah mashaAllah menikmati Ramadhan di puncak gunung, pasti perjuangnnya luar biasa
BalasHapusAamiin! Semoga bisa berjodoh dan ketemu lagi ya Arai. Seneng deh ngikutin perjalananmu meskipun ngga bisa ikutan juga wkwkwk
BalasHapuskalau anak anak sudah besar dan bisa ditinggal, mau bulan madu dengan cara seperti ini
BalasHapusya bulan madu yang tertunda lama sekali
mbak, rumah kakakku deket sama sini nih, duh aku lupa nama daerahnya hahaha. jadi kangen naik gunung nih, nagih banget ya mbak
BalasHapusseru banget kak, aku pengen banget bisa barengan temen gitu naik gunung ya, belum kesampean hehe.. sekaraang kayanya bawa keluarga kecil asik kali ya hihi
BalasHapusWah strong sekali mbak. Aku mendaki gunung aja belum pernah, apalagi mendaki gunung pas Ramadan. Kayaknya aku nggak sekuat itu.
BalasHapusAku jadi bisa membayangkan bagaimana keindahan visual yang sedang mb Arai nikmati di puncak sana. Keren banget mb, mendaki saat puasa. Aku belum pernah sama sekali mendaki, pengen sih. Tapi takut ga kuat huhu
BalasHapusBtw, temen-temen kantornya asik ya mb. Punya kesukaan yg sama!
Wah, keren mbak, puasa-puasa mendaki gunung. Nggak puasa aja capeknya minta ampun. Aku selalu pengen naik gunung, cuma belum pernah kesampaian. Waktu kuliah, cuma pernah sekali naik gunung ungaran, itu pun nggak sampai puncak. Pengen kapan2 sekeluarga naik gunung gitu, pasti jadi pengalaman yang seru juga buat anak-anak.
BalasHapusWah iya, dulu pas SMA pernah naik gunung
BalasHapusSekarang da lama banget g naik gunung
Anak anak masih kecil kecil soalnya
Wowww kereen mbaa..
BalasHapusBener juga yaa lebih asyik mendaki di waktu malam hari yaa.
Apalagi lagi bulan puasa gini.