Stone Forest Tangrante © Ricky Elwarin |
Sang surya tampak malu-malu membelah langit malam bumi Celebes. Subuh memang selalu menjadi malam yang tergelap sebelum siang ganti berjaga. Bison besi ini bergerak tanpa henti dari Makassar sedari malam. Menembus berbagai lintasan buatan yang lurus, menanjak dan berkelok mulai dari Maros, Pangkep, Barru, Pare-Pare, Pinrang hingga pagi ini di Enrekang.
Sederet daerah yang tak pernah kubayangkan akan dilalui raga
Jawa-Minangku ini.
Kulenturkan kakiku yang terlipat marah, tujuh jam lamanya dia harus
menjaga kewarasan. Pengaruh Antimo memang mujarab, pikirku.
Kujatuhkan kepalaku ke sebelah kanan. Mengerjap mencari apapun yang bisa
dipandang di balik jendela, masih sangat gelap. Dibandingkan gemerlap lampu perjalanan
antar kota di Jawa, Sulawesi memang terlihat begitu misterius dalam kelamnya
malam. Seolah itu semua adalah selubung raksasa yang menutupi harta moyang
mereka.
Perlahan kegelapan terangkat, rasa kantuk itu sirna dalam hamparan
kosmos menakjubkan yang kupandang. Enrekang memamerkan pesonanya. Bukit-bukit
hijau di seberang jurang berdiri kokoh bak gapura selamat datang.
Mataku mencari-cari, di manakah Latimojong berdiri? Bagi seorang pendaki
Jawa sepertiku, Latimojong memang jadi sebuah mimpi. Sayang kendaraan ini
enggan berhenti karena memang Enrekang bukanlah tujuan. Enrekang hanyalah
gerbang awal dari persinggahanku.
Dan di sinilah aku berhenti untuk lima hari ke depan.
Rantepao.
Kota mungil yang bahkan cuma sepersepuluh luasnya dari Malang, kota
kelahiranku.
Aku telah tiba di tanah orang-orang yang berdiam di negeri atas.
Hidup Untuk Mati, Mati Untuk Hidup
Setiap perayaan adat Toraja, selalu dibicarakan dalam konteks keluarga dengan waktu yang lama. Saya tidak mengatakan upacara, karena rambu solo ini adalah sebuah acara hidup dan mati. Bagi saya tidak ada yang kebetulan, karena semua ini kuasa Tuhan ~ Daud Pangarunan
Takjub.
Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan ekspresi wajahku
saat melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana rambu solo, ritual kematian agung suku Toraja ini digelar.
Satu lagi keinginanku dalam hidup yang berhasil terwujud.
Aku melihat iring-iringan keluarga mendiang Damaris Pasa berjalan menuju
Tongkonan-Tongkonan batu a’riri atau
pondok-pondok (lantang) dalam balutan
busana serba hitam. Bersatu dalam tatapan sedih, bersama mengantar jiwa yang
sakit itu menuju Puya, tempat di mana
kedamaian abadi berada.
iring-iringan keluarga Damaris Pasa di Rambu Solo |
Salah seorang tetua berjalan di depan barisan. Sedangkan Daud yang
mengenakan kain putih seperti sarung, duduk di bangunan utama. Pada ruang tepat
di atasnya, ada peti mati berisi jenazah Damaris. Wajahnya berbinar bangga,
bisa mengantar kerabat tersayang ke Puya
dalam waktu yang tidak terlalu lama. Daud terus berbicara lantang dalam bahasa
adat Toraja yang sama sekali tak kumengerti.
Yang kutahu, kami hari ini datang di acara ma’pasa’ tedong (mengumpulkan kerbau), sebelum akhirnya kembali dua
hari kemudian untuk menghadiri ma’tinggoro
tedong (penyembelihan kerbau) sejumlah 13 ekor itu.
tedong saleko (kerbau belang) di rambu solo Damaris Pasa |
Sayang aku tak berkesempatan melihat langsung ritual ma’pasonglo yang jadi ciri khas rambu solo, ketika kain merah panjang
dibentangkan oleh pihak keluarga. Begitu pula prosesi ma’badong yang identik dengan tarian banyak orang untuk
mengagungkan si mati, dalam perjalanan pertamaku di Toraja Utara ini.
Kubiarkan juga diriku membayangkan hadir di prosesi manombon, saat batu simbuang ditarik lalu ditegakkan dan ditanam
berjejer seperti yang kulihat di Bori Parinding, pada hari terakhirku. Di dalam
rante Kalimbuang itu, menhir-menhir berdiri bak kompleks megalit Stonehenge di Amesbury,
Wiltshire, Inggris sana.
menhir-menhir di rante Kalimbuang, Bori Parinding |
Tidak semua orang bisa dimakamkan di sini, harus keluarga. Erong yang terletak menggantung di atas tebing itu menandakan kalau si mati punya silsilah raja. Alasan kenapa orang Toraja tidak dikubur adalah mereka tak ingin yang mati menghabiskan tanah, di mana itu seharusnya dimanfaatkan oleh keturunan yang masih hidup
Berasal dari bahasa Bugis yakni To
Riaja dengan makna orang yang berdiam di negeri atas, suku Toraja memang
masih memegang erat kepercayaan animisme mereka, Aluk To Dolo. Ajaran luhur Aluk
To Dolo menyebutkan kalau moyang orang Toraja berasal dari langit yang
dibuat langsung oleh Sang Dewa Pencipta alias Puang Matua dari bahan emas murni.
Tak heran kalau dalam rambu solo,
kematian dipahami bukan sebagai kedukaan yang memilukan dan berkepanjangan.
Kematian adalah cara orang Toraja untuk kembali ke tempat kelahiran mereka yang
berujung di langit. Di mana untuk menuju gerbang Puya, mereka melesat dengan menunggangi arwah tedong yang disembelih.
kuburan batu lo’ko mata Batutumonga |
Baru kemudian raga-raga mereka disemayamkan di pattane yakni rumah kubur beton, atau dimasukkan di dalam liang
kuburan batu seperti yang kulihat di lo’ko
mata Batutumonga. Bisa juga keluarga memilih untuk diletakkan dalam erong (peti mati kayu) di gua-gua batu, selayaknya pemakaman desa Kete Kesu.
tengkorak manusia di gua batu Kete Kesu © Prianto Puji Anggriawan |
Khusus untuk bayi-bayi yang belum tumbuh gigi, sejumlah etnis Toraja
memilih memakamkan jiwa-jiwa suci itu di pohon Tarra, seperti yang ada di Bori
Parinding. Di mana jenazah bayi itu dimasukkan ke lubang-lubang pohon Tarra
lalu ditutup begitu saja dengan ijuk. Keluarga berharap getah pohon Tarra yang
berwarna putih akan menggantikan ASI dari Ibu tercinta agar arwah mereka bisa
damai.
ijuk di batang pohon Tarra sebagai tanda makam bayi |
Sedangkan untuk keturunan langsung leluhur Toraja, mereka berhak
meletakkan erong di pusara khusus.
Seperti yang kutemui di Londa, Desa Sandan Uai, perbatasan Makale dan Rantepao.
Semakin tinggi kasta mereka, raga mereka bisa ditemani Tao-Tao, patung dengan
tatapan mata tak berjiwa yang dibuat semirip mungkin dengan si mati.
erong dan Tao-Tao di Goa Londa |
Tak hanya Tao-Tao, keturunan bangsawan bisa menggantung erong-erong mereka di langit-langit
Londa. Sebuah goa yang menguarkan aura kematian begitu pekat, menandakan entah
sudah berapa generasi meninggalkan tulang belulang kekasihnya di sana.
Magnet Kehidupan Toraja itu Bernama
Tongkonan
Lahir dan besar di Jawa, aku tak pernah sekalipun membayangkan kalau
kaki ini akan berdiri langsung di depan Tongkonan. Rumah-rumah adat suku Toraja
yang dulu cuma kulihat di buku pelajaran sekolah itu.
Bagi mereka, Tongkonan lebih dari sekadar hunian.
Tongkonan adalah magnet kehidupan yang mampu memanggil seluruh
keturunannya untuk pulang, tak peduli ada di belahan Bumi mana mereka berada.
Entah rambu solo sebagai pertanda
duka cita atau rambu tuka yang
merayakan suka cita, Tongkonan adalah tahtanya.
jajaran Tongkonan di desa Pallawa |
Dari banyaknya Tongkonan yang kulihat saat di Toraja Utara, apa yang ada
di desa Pallawa jelas paling memukau. Bahkan dibandingkan dengan jajaran
Tongkonan di Kete Kesu, rumah-rumah adat ini konon berusia jauh lebih tua.
Aku bergidik saat membayangkan legenda yang pernah terjadi di Pallawa. Konon
pemukiman ini adalah saksi bisu tradisi kanibalisme. Ya, ratusan tahun lalu
saat ada peperangan antar kampung terjadi, darah dan daging lawan yang kalah lalu
terbunuh bisa diminum serta disantap. Pa’lawak
nama adatnya, menjadi cikal bakal nama Desa Pallawa setelah diubah dalam proses
musyawarah adat pada pertengahan abad ke-11.
Kini orang-orang Toraja memang sudah banyak yang tinggal di rumah-rumah
modern meskipun Tongkonan Layuk, sebagai pusat kontrol utama yang Maha Tinggi
tetap wajib ada. Ciri khas bangunan ini jelas, tanduk-tanduk kerbau tersusun
vertikal di depannya.
rangkaian tanduk kerbau di depan Tongkonan |
Mungkinkah tanduk-tanduk itu berasal dari kerbau-kerbau di pasar Bolu
yang kukunjungi pada hari kedua kami di Rantepao? Aku tak tahu. Karena yang
pasti itu menandakan bahwa semakin tinggi strata sosial si pemilik Tongkonan,
tanduk kerbau bakal membumbung bertumpuk.
Dihiasi rahang babi di sisi kanan yang menghadap ke timur dan rahang
kerbau di sisi kiri rumah yang menghadap ke arah barat, semua Tongkonan berdiri
berjejer ke arah utara, sebagai perlambang di mana leluhur mereka berasal.
Rumah panggung kayu yang seluruh bagiannya tak berpaku ini, dilapisi ijuk hitam
di bagian atapnya yang melengkung.
Mirip haluan kapal, menurutku.
Tak heran karena dalam penelitian arkeologis ilmiah, nenek moyang suku Toraja
diyakini sebagai para pengembara samudera yang berdiam di sekitar Teluk Tonkin,
di antara Vietnam utara dan Cina selatan sana.
Mungkin saja Tongkonan-Tongkonan itu adalah gambaran kerinduan mereka
pada tanah leluhur yang kini sudah dibatasi kekuasaan negara.
Pesona Utopia Negeri di Atas Awan
gumpalan awan To'Tombi © Ricky Elwarin |
Pukul empat pagi mobil-mobil kami beriringan meninggalkan hotel Pias
Poppies saat hari ketiga dimulai. Aku bergabung dengan mata-mata kantuk para
fotografer yang saling memanggul peralatan tempur mereka. Ya, para penangkap
cahaya ini akan berlomba memenjarakan mentari di dalam kamera-kamera mereka.
Bison besi yang kami tunggangi berulang kali menggerutu saat sopir
memacunya di jalanan menanjak tanpa ujung yang berliku ekstrim. Tujuan kami
adalah Lolai, negeri di atas awan. Hawa dingin To’Tombi langsung menusuk kulit
saat aku keluar dari mobil. Sebagai manusia Kota Batu, tubuhku ternyata tak
terlalu mengeluh pada serangan fajar ini.
Butuh sekitar 30-40 menit untuk menembus jalanan kelam yang dipagari
hutan agar sampai di puncak setinggi 1.300 mdpl itu. Semburat merah terlihat di
ufuk, sementara gumpalan awan mulai beriring membuka wajah kota Rantepao yang
masih enggan terbangun itu. Aku bisa melihat tugu salib Buntu Singki’ berdiri
dengan gagah di bawah sana, tanpa pongah menatapku yang sekali lagi terbius
utopia Toraja Utara.
tugu salib Buntu Singki’ dari To'tombi © Agustinus Elwan
‘Ayo kita pindah ke Lempe. Di
sana awannya lebih bagus’
Aku dan dua rekan blogger
serta beberapa fotografer lainnya pun sepakat masuk ke mobil. Hanya sekitar
lima menit saja, kami sudah sampai di Lempe, puncak Lolai.
Aku tersenyum. Benar kiranya pindah ke Lempe.
Di sini gumpalan awan terbentang bak karpet raksasa tanpa malu. Warnanya yang putih seolah menopang sinar emas sang surya di pagi itu. Sebuah pemandangan yang jelas sulit terlupa, membawaku kembali ke memori puncak Semeru, Arjuno, Penanggungan hingga Panderman di Jawa sana.
Aah, aku memang sangat rindu bercumbu dengan alam.
hamparan awan di Lempe, Lolai |
Tepat jika orang-orang menyebut Lolai sebagai negeri di atas awan. Karena sejauh mata memandang, awan di sini hadir bak ombak di atas samudera, menjanjikan gelombang kehidupan untuk jiwa-jiwa fana di bawahnya.
Puas menikmati kecantikan langit Toraja, perjalanan kami berlanjut di
kaki gunung Sesean. Hamparan sawah dengan batu-batu sebesar ukuran rumah tentu
menjadi pemandangan yang tak akan bisa kutemui sehari-hari di pulau Jawa.
Karena itu aku tak menyalahkan para fotografer yang menuntut mobil berhenti,
untuk mengabadikan bentang alam indah itu.
suguhan tarian Pa'gellu di Desa Tikala |
Kecantikan itu semakin sempurna saat siang harinya kami disambut
remaja-remaja Toraja yang menyuguhkan pa’gellu.
Tarian sukacita yang yang disajikan enam gadis cantik dan tiga laki-laki remaja
penebuh alat musik itu membiusku sambil berlatar kemegahan panorama Sesean.
Namun kalau disuruh memilih apakah perjalanan mayapada di Toraja Utara
yang paling berkesan bagiku, mungkin ketika kami semua mendaki gunung karst
Tangrante di Tikala pada hari keempat.
Dimulai dari danau Limbong, aku memaksa otot dalam tubuhku yang sudah 1,5 tahun ini terlalu asyik bermanja di rumah karena pandemi Covid-19 untuk bergerak. Kakiku seolah enggan berjalan lagi ketika kami mendaki stone forest di Marimbunna.
sawah dan bukit karst Batutumonga © Ricky Elwarin |
Toraja seperti tersenyum mengejekku yang berulang kali berhenti mengatur napas. Kalah dengan Ibu-Ibu serta remaja penari pa’gellu yang melangkah cekatan di jalur alam itu, lengkap dengan kostum mereka.
Hingga akhirnya aku sampai di titik karst tertinggi. Menatap Rantepao
yang mungil di bawah sana. Tak kupedulikan tangan yang sedikit terluka terkena
batu-batu tajam itu, atau kaki yang berdenyut nyeri saat salah langkah. Karena
apa yang terhampar di depanku, jelas bukti kalau Sang Maha Esa memang
menciptakan tanah orang-orang langit ini dengan senyum penuh cinta.
Inilah sihir tanah Toraja. Dan aku jadi tak berdaya selain terhanyut dalam
senandung di dalamnya yang tanpa akhir itu.
Meninggalkan Sepatu Kaca di Toraja
Utara
Waktu memang kadang bisa berputar sangat jahat. Melaju tanpa ampun,
memaksa diri untuk kembali ke kenyataan dunia.
Ya, perjalananku ini harus segera berakhir. Kubereskan seluruh bawaanku
tanpa semangat. Kubiarkan carrier 60L
itu memberontak tinggi karena penataan yang sama sekali tidak rapi.
Saling jabat dan senyum mengembang menjadi ucapan terakhir dengan
belasan fotografer itu. Para penjerat pendar yang mungkin tak akan pernah bisa
kutemui tanpa campur tangan takdir Halikuljabbar.
Aah, mungkin
seperti inilah rasa yang membuncah di hati A.J Frost (Ben Affleck) saat harus
meninggalkan kekasihnya, Grace Stamper (Liv Tyler) untuk menaiki Freedom menuju luar angkasa di film ARMAGEDDON (1998) itu. Tak sadar aku bergumam
lirih, ‘all my bags are packed I’m ready
to go, don’t know when I’ll be back again, oh babe I hate to go...’
Tak ada yang bisa kuperbuat memang saat bison besi ini menderu
meninggalkan Rantepao, selain melihat lampu-lampu kota berganti dengan pekatnya
malam. Berbeda dengan pekan lalu, aku ingin mataku menelan banyak-banyak
pemandangan Toraja Utara. Meyakinkan bahwa lima hari yang sudah terlewati ini
memang sebuah kisah nyata, bukan sekadar delusi semata.
Awalnya kupikir perjalananku di Geopark Toraja Utara ini seperti mencuri
mimpi indah milik orang lain.
Namun ternyata tidak. Akulah yang melangkah secara sadar ke perjamuan
magis ini.
Aku adalah Cinderella yang menerima undangan pesta dansa dari panitia
Toraja Highland Festival. Mereka pula yang menjadi Ibu Peri dan memberiku gaun
cantik serta kereta kencana, lewat rapalan-rapalan sihir adat Toraja. Hingga
akhirnya akupun jatuh cinta pada pandangan pertama.
Bukan, bukan kepada pangeran sang pemilik istana, tapi kepada keramahan
orang-orang Toraja yang menyambutku dengan tangan terbuka. Entitas Masata
(Masyarakat Sadar WIsata) inilah yang mengajakku menikmati harta alam mereka
yang luar biasa candu.
Berbeda dengan Cinderella yang tak sengaja melepaskan sepatu kaca di
anak tangga istana, aku sepertinya dengan sengaja meninggalkan salah satu
sepatu kacaku itu. Pecahannya kubiarkan berdiam di awan-awan yang membungkus
Lolai, mengalir di sepanjang sungai sa’dan, tersembunyi di hamparan sawah asri
Sesean, atau mungkin hinggap di celah-celah kokoh pegunungan karst di Tikala
sana.
Tentu aku tak perlu pangeran berkuda putih untuk menjemputku.
Karena saat raga ini terangkat tinggi di langit Makassar dalam kepak
sayap burung besi, aku berjanji untuk menjejak kembali di tanah milik orang
langit itu.
Aku belum puas, pekikku dalam hati.
Aku masih ingin melihat ma’nene´dan
seluruh ritual rambu solo atau rambu tuka yang luar biasa luhur itu.
Aku masih ingin mengecap lezatnya kapurung
serta hangatnya sop ubi di malam-malam damai kota Rantepao. Aku masih ingin
bersenda gurau sambil mengunyah pa’piong,
suguhan bangsawan Toraja yang berupa beras ketan dalam bambu bakar, sambil
bercerita ukiran Tongkonan.
Semoga kita bisa bertemu lagi, Toraja Utara.
Dari aku, yang jatuh cinta padamu.
Baca ceritanya kak arai bikin mupeng pingin ke Toraja nih..
BalasHapusYa Allah kakak, betapa beruntungnya bisa menyaksikan acaranya, dan aku disini masih bermimpi menginjakkan kaki di tanah toraja, ntahlah bagaimana caranya agar akupun bisa menyaksikan setiap proses upacara adat disana, yang jelas aku masih punya harapan, suatu saat akupun bisa disana
BalasHapusImpian banget bisa langsung melihat tanah toraja. Dulu waktu di bali kayaknya aku cuma ngeliat replikanya gitu.
BalasHapusHey, Arai!
BalasHapusAku mau tanya aja sih, apa nggak merinding gitu pas lihat prosesi pemakaman adat Toraja? Hihi..
Luar niasa sih bisa lihat langsung adat suku Toraja, apalahi untuk pemakamannya yang terbilang unik.
Aduh, aku mupeng lho sama negeri di atas awannya. Pasti sejuk dingin-dingin gitu ya hawanya. MasyaAllah..
Stay save hey, Arai!
Hahaha engga kak Kyn, mungkin karena apdet konten lebih penting daripada rasa takut kali ya hahahah. Iyaaa, di Lolai itu sejuk banget banget. Semoga next bisa kesana juga yaaah. Stay safe, kak!
Hapusseru sekali bisa mempelajari tentang suku Toraja walaupun belum bisa langsung kesana, sangat unik ya terimakasih tulisannya
BalasHapusduh, destinasi impianku nih
BalasHapusjadi selama belum bisa ke sana, rasanya asyik banget baca tulisan ini serasa ikut Arai menjelajahi tanah Toraja
Ingat dulu baca soal Rambu Solo di salah satu majalah wanita terkemuka, sebagai anak kecil takjub gitu ya, apalagi foto-fotonya cukup banyak. Nggak kebayang menyaksikan langsung.
BalasHapusBtw, lokasi yang di atas awan itu menakjubkan banget! Kayak di dalam mimpi aja ya, padahal betulan.
Keren bangett aku sampe membayangkan gimana mulai kamu memulai perjalanan sampe jadilaah rangkaian kalimat yang keren banget iniii.
BalasHapusDuhh cepetan bikin buku perjalanan sanaaaaa. Aslii ga bosen bacanya
MasyaAllah indah banget mbak, semoga ada rejeki main ke sini.
BalasHapusBerasa berjalan-jalan ke sana betulan.
Masya Allah seru banget yaaa, pengen banget jalan-jalan ke daerah yang masih menjungjung tinggi adat istiadat gitu :) semoga terus lestari nih di Indonesia :)
BalasHapusMasyaAllah mbak, keren sekali pemandangan dan budaya disana. Pasti sangat menyenangkan bisa menyasikan langsung itu semua. Semoga semuanya tetap lestari kedepannya, alam dan budayanya sangat indah
BalasHapusBaca ini jadi kangen bangte pergi ke Toraja lagi, saya ke sana tahun 2013 hua sudah kayak apa tahu sekarang ya, pasti banyak banget yang bisa dikunjungi dan banyak wisata baru
BalasHapusAku juga jatuh cinta hanya dari membaca tulisan ini, unik, keren banget ya. Aku juga penasaran dengan prosesi rambu solo. Penasaran dengan tengkorak-tengkoraknya itu, pokoknya penasaran. Dan selain itu ternyata cantik banget alamnya. Maha Besar Allah dengan segala ciptaan-Nya
BalasHapusWah, ini salah satu tempat yang ingin aku kunjungi. Sudah lama sih, entah kapan bisa terealisasi, hiks. Dengan membaca tulisan ini, bisa menjadi obat kerinduanku akan Tanah Toraja. Terima kasih, kak...
BalasHapusMasyaAllah kerennya keberagaman budaya dan alam indonesia. Infonya sangat lengkap dan menambah pengetahuan
BalasHapusSeru sekali perjalanan ke Tana Toraja Mba Arai. Melihat secara langsung adat masyarakat setempat, yang katanya bukan hanya upacara semata, tapi lebih dari itu, acara hidup dan mati.
BalasHapusImpian untuk melihat langsung Tongkonan bisa terwujud. Sungguh suatu rezeki yang tidak diduga sebelumnya ya Mba. Dulu cuma bisa lihat dari buku pelajaran saja, tapi sekarang udah bisa melihat langsung.
Pemandangan alamnya keren banget. Pasti banyak lagi spot foto yang menarik untuk diabadikan.
Ah kapan saya bisa traveling ke sana?
Aduh saya jadi ikut pengen bisa menginjakkan kaki di Tanah Toraja nih. Selama ni saya singgah di Toraja saat bermain Monopoli Nusantara saja, hehehe....
BalasHapusTanah Toraja atau Tator memeng penuh pesona, Mbak. Adat istiadatnya juga sangat lekat dan lekang sepanjang masa. Dan pas baca kapurung dan sop ubi, langsung jadi ngiler. Dulu pas tinggal di Makassar sering bikin kapurung, karena dapat sagu dari tetangga yang asal Palopo hehehe.
BalasHapusJadi inget trip kerjaku ke Tana Toraja beberapa tahun silam.. sungguh trip yang nggak terlupakan! Sempet ketemu sapi seharaga 1M alias tedong saleko juga hehe
BalasHapusPernah ke Tana Toraja belasan tahun silam, waktu masih SMP. Sayangnya dulu pas ke sana, pas nggak ada perayaan Rambu Solo. Aku tahu Rambu Solo malah baru beberapa tahun terakhir, gara2 di bukunya anak-anak ada nyeritain tentang perayaan ini. Keren ya Indonesia punya banyak budaya, salah satunya ya di TaTor ini.
BalasHapusselalu takjub sama cerita-cerita tradisi masyarakat nusantara! Upacara adat hidup dan mati masyarakat Toraja ini emang udah legend banget ya kak, dan pengumpulan 13 ekor kerbau buat upacara juga bukan hal yang mudah menurutku, kekuatan budaya banget tradisi ini!
BalasHapusSebuah catatan perjalanan yang dikemas dengan bahasa yang indah dan seolah olah kita berada di sana. Meski panjang tapi gak bosan bacanya. Senang sekali bisa menginjakkan kaki ke sana
BalasHapusAstaga mbak, lihat foto-foto yang mbak pasang nyuci mata banget! Kaget tadi lihat tengkorak haha, kepercayaan-kepercayaan mereka unik ya. Saya jadi pengen ke toraja nih.
BalasHapusToraja tanah yang luhur yaa..
BalasHapusSemoga dengan banyaknya literasi mengenai Toraja, adat dan istiadatnya masih lestari dan mengundang wisatawan.
Saya seperti tersihir dengan kata-katanya Kak Arai dalam melukiskan cerita mengenai perjalan ke Toraja. Seru sekali ya Kak eh cuma saya sendiri belum pernah ke Toraja padahal tinggal di Sulsel.
BalasHapusToraja memang tanah yang berbeda dari lainnya di Sulawesi Selatan
BalasHapusAda yang bilang ketika masuk area sini, semua akan bersifat magis
Judul tulisan ini dan gaya Kak Arai bercerita tentang perjalanan ke Tana Toraja keren. Suka gaya penceritaannya yang punya daya magis kuat, sekeren dan sekuat budaya dan adat Toraja. Udah lama juga penasaran dan mau injakkan kaki ke Geopark Toraja Utara ini... someday mungkin. Untuk sementara, menikmati cantiknya Toraja dari cerita dan foto-foto teman-teman dulu saja
BalasHapuswah seru ke Toraja saya pengen kesana lagi semoga bisa segera ke sana lagi aamiin, pasti banyak banget destinasi wisata yang memang baru niy
BalasHapustoraja ini salah satu destinasi yang masuk dalam daftar list tempat yang ingin dikunjungi karena memang penasaran dengan bagaimana keadaan di lokasi. apakah semua isu yang beredar benar adanya, jadi memang pengen tahu detilnya
BalasHapuswishlist ke Toraja, dulu waktu ke Makasar ga sempet mampir sana, dan ajakan temen pun waktunya selalu bentrok
BalasHapusadat tradisinya bener bener terus dilestarikan sampe sekarang, yang bikin penasaran pastinya bisa melihat langsung tradisi rambu solo