Antara/Rony Muharrman |
Merasa
kalau judul saya ini clickbait?
Ala-ala
media lampu merah yang bikin naik darah padahal isinya tidak terlalu membuncah?
Tenang,
kalian tidak sendiri.
Saat
saya membaca pernyataan yang dituliskan oleh Dr. Herlina Agustin di acara Online Gathering bareng Eco Blogger
Squad hari Jumat (6/8) pekan lalu bertema ‘Lindungi Lahan Gambut, Lindungi
Fauna Indonesia’ itu, saya pun terhenyak.
Nggak salah nih?
Serius
Bumi bakal punah 79 tahun lagi?
Kiamat
di tahun 2100?
Tapi,
kenapa? Kok bisa? Apakah mungkin?
Mungkin
saja.
Apalagi
jika kita manusia, makhluk Tuhan yang begitu pongah menyebutkan diri sebagai
yang tersempurna ini, benar-benar sudah tak peduli dengan keanekaragaman hayati
alias biodiversity.
Kiamat Bumi yang Sedang Dimulai di Indonesia
Sebelum
saya jelaskan mengenai prediksi kiamat geologi di tahun 2100 nanti, kalian
harus tahu bahwa selama 540 juta tahun terakhir, Bumi sudah lima kali didera
insiden kepunahan masal. Yang paling parah mungkin terjadi di era Permian dengan nama begitu menggetarkan,
The Great Dying.
Saat
The Great Dying terjadi, lebih dari
95% makhluk hidup punah dan air laut menjadi asam.
Lalu
‘kiamat’ kembali terjadi pada 65 juta tahun silam di periode Crataceous – Tertiary saat dinosaurus punah
dan digantikan oleh mamalia.
Berbagai
peristiwa di masa lalu itulah yang membuat Daniel H.Rothman, seorang ahli
Geofisika dari Institut Teknologi Massachussets menemukan garis merah penyebab
yang sama. Rothman juga memprediksi kalau akhir dunia bisa saja terjadi kurang
dari seabad lagi.
Memang,
apa penyebabnya?
Gangguan
terhadap siklus karbon yang akhirnya memicu perubahan iklim.
Saat
iklim berubah, keanekaragaman hayati jelas akan bergejolak.
Padahal
menurut Profesor Georgina Mace dari Pusat Penelitian Keanekaragaman Hayati dan
Lingkungan di Universitas College London, biodiversity
adalah keuntungan finansial yang diberikan alam secara cuma-cuma kepada
semua makhluk hidup di dalamnya, termasuk manusia.
Bahkan
di Indonesia, kita harus bangga kalau negeri ini termasuk 10 besar negara
berstatus Mega Diversities yang
memiliki porsi 1,3% dari luas keanekaragaman hayati di dunia.
Tak berlebihan pula kalau Indonesia dijuluki sebagai pemasok terbesar produk satwa liar di Asia dengan pembagian 12% mamalia, 7,3% amfibi dan reptil serta 17% burung.
Patutkah
kita bangga dengan kekayaan hayati negeri ini?
Sudah
jelas!
Namun
sudahkah kalian tahu kalau kekayaan hayati kita memiliki status kedua tercepat
dalam hal kepunahan dunia setelah Meksiko?
Yap.
Tingkat penyelundupan satwa liar di Indonesia termasuk tertinggi keempat di
dunia.
Gimana?
Mulai panik? Panik dong. Masa’ engga...
Negeri
ini yang selalu dibanggakan sebagai Gemah
Ripah Loh Jinawi rupanya memiliki ‘borok’ besar terkait penurunan spesies
hayati. Penyebabnya ada banyak sekali mulai dari perubahan iklim, eksploitasi
alam berlebihan, alih fungsi hutan, hilangnya habitat, perburuan dan
perdagangan flora-fauna besar-besaran sampai rekayasa genetika.
Nah,
khusus untuk perubahan iklim inilah Rothman memprediksinya sebagai salah satu
penyebab kepunahan geologi di Bumi pada tahun 2100. Di mana menurutnya, akan
ada peningkatan jumlah karbon di atmosfer, daratan dan lautan. Saat jumlah
karbon bertambah, maka itu artinya produksi oksigen di Bumi tidak bisa
mengimbangi kadar CO2 (karbondioksida).
Lewat
penelitiannya berjudul Thresholds of
Catastrophe in the Earth System yang terbit di Science Advances, grafik hitungan matematis menghasilkan ambang
batas emisi karbon di Bumi adalah 310 gigaton yang terjadi pada tahun 2100 nanti.
Lantas,
apa yang terjadi kalau emisi karbon mencapai ambang batas itu?
Kepunahan
massal seperti 250 juta tahun lalu.
Wah
kalau begitu, harus dihentikan dong emisi karbonnya!
Benar
sekali, saudaraku.
Hanya
saja kalian harus tahu kalau kondisi itu mungkin akan cukup berat di Indonesia.
Dalam
laporan WRI (World Resources Institute)
di Washington DC pada tahun 2014, Indonesia ada di posisi keenam sebagai
penghasil emisi karbon tertinggi di dunia yakni 2.05 miliar ton. Karhutla
(Kebakaran Hutan dan Lahan) adalah salah satu penyebab emisi karbon terbesar.
Dan
setiap Karhutla itu terjadi, ada banyak flora dan fauna yang menjadi korban.
orangutan di pulau Kaja © Antara/Hafidz Mubarak A |
Salah
satunya adalah sekitar 355 orangutan kalimantan yang jatuh sakit akibat
pekatnya kabut asap di pusat rehabilitasi Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah,
sebagai imbas karhutla di pulau Borneo pada tahun 2019 lalu.
Bahkan
yang lebih perih lagi, ada banyak satwa-satwa liar penjaga keanekaragaman
hayati yang harus mati terpanggang lantaran mereka tidak seberuntung manusia.
Terbukti dari banyaknya bangkai-bangkai ular di lokasi karhutla gambut di
perkebunan sawit Kecamatan Rumbai, Pekanbaru, Riau.
ular terpanggang di karhutla gambut Pekanbaru © Antara/Rony Muharrman |
Seolah
tidak berhenti di karhutla, penggerus kekayaan hayati di Indonesia lainnya
adalah manusia yang belum paham betul soal konservasi. Ada banyak di antara
kita yang mungkin memelihara satwa-satwa liar yang harusnya hidup bebas di
alam, dengan alasan mencintai.
Coba
lihat, ada berapa banyak orang-orang kaya memelihara kucing serval atau bobcat
alih-alih kucing kampung yang hidup bebas dan doyan ikan asin?
Atau
mungkin bagaimana bisa pria asal Semarang memelihara elang jenis golden eagle yang adalah hewan endemik
Ceko?
Segelintir
kondisi itulah yang membuat keseimbangan kekayaan hayati di semakin limbung.
Diperparah dengan banyaknya tingkah laku manusia Indonesia yang memberikan
dampak buruk ke perubahan iklim, ada banyak satwa-satwa langka yang benar-benar
diambang kepunahan, bahkan tanpa perlu menanti 2100.
Gambut-Gambut, si Basah yang Jadi Kambing Hitam
Bersinggungan
dengan perubahan iklim yang membuat kekayaan hayati negeri ini makin tergerus
terutama satwa-satwa liar, pernahkah kalian mendengar kalau ini semua
disebabkan oleh gambut?
Ya,
lahan basah yang terbentuk dari timbunan materi organik ini sering disalahkan
sebagai pemicu karhutla yang membuat Indonesia kehilangan banyak spesies hewan
langka dan memasuki gerbang perubahan iklim lebih dalam.
Berdasarkan
data KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) pada tahun 2019, dari
1,6 juta hektar karhutla, 494 ribu hektar di antaranya adalah gambut.
Fakta
bahwa di dalam lahan gambut memiliki kandungan oksigen yang sangat tinggi
sehingga mudah terbakar dan sangat sulit dipadamkan karena api bisa bertahan di
dalam permukaan dalam waktu lama, lalu menghasilkan emisi karbon dalam jumlah
besar, membuat gambut jadi kambing hitam dalam setiap karhutla.
Belum
lagi lahan-lahan gambut yang sudah mengering melepaskan karbon ke udara
sehingga menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca, semakin memperkuat kalau
gambut haruslah dilenyapkan!
Padahal tahukah kalian, gambut justru punya fungsi yang sangat luar biasa untuk alam ini. Jujur saya baru benar-benar paham setelah Lola Abas selaku Koordinator Nasional Pantau Gambut menjelaskannya dalam webinar pekan lalu itu.
Pertama,
lahan gambut bisa mengurangi dampak bencana banjir dan kemarau karena daya
serapnya sangat tinggi. Bahkan gambut bisa menampung air hingga 450 – 850% dari
bobot keringnya.
Kedua,
ada banyak sekali flora dan fauna yang hidup di lahan gambut. Berdasarkan data
WWF pada tahun 2009 yang dipublikasikan CIFOR.org, ada 35 spesies mamalia, 150
spesies burung dan 34 spesies ikan ditemukan di lahan gambut. Bahkan beberapa
di antaranya adalah satwa endemik yang wajib dilindungi seperti buaya
sinyulong, langur, harimau Sumatera sampai beruang madu.
Ketiga,
lahan gambut juga bisa jadi sumber penghidupan manusia di sekitarnya dengan
memanfaatkan flora untuk barang produksi atau fauna-fauna non endemik-liar
sebagai sumber pangan.
Hanya
saja keinginan untuk hidup berdampingan dengan lahan gambut yang punya manfaat
luar biasa itu tampaknya cukup berat. Karena seiring dengan waktu berjalan,
lebih dari 9,1 juta hektar lahan gambut di Indonesia sudah terdegradasi akibat
alih fungsi lahan.
Per
tahun 2019 lalu, jumlah lahan gambut di Tanah Air tinggal 13,43 juta hektar,
menurun 1,5 juta dari jumlah 14,93 juta hektar di tahun 2011.
Memang
apa yang akar terjadi kalau lahan-lahan gambut itu hilang?
Banjir.
Kebakaran.
Kabut
asap.
Pencemaran
tanah.
Laju
perubahan iklim yang tak terbendung...
...dan
hilangnya keanekaragaman hayati.
Mau
kalian hidup di masa depan yang cuma dihiasi onggokan batu dan tanah tandus?
Membalik Prediksi, Menggaris Ambisi
Melihat
fakta yang ada baik dari kondisi kekayaan hayati di Indonesia saat ini, nasib fauna-fauna
liar hingga kondisi lahan gambut, apakah prediksi kepunahan spesies di tahun
2100 masih bisa digagalkan?
Tentu
saja masih bisa!
Saya,
kalian dan kita semua bisa jadi agen perubahan untuk bersama-sama membalik
prediksi akhir dunia itu.
Salah
satunya adalah dengan mulai peduli dan melindungi satwa liar serta lahan
gambut.
Milenial
dan generasi Z yang kini jadi tulang punggung masa depan Indonesia harus bisa
bersama-sama menggalakkan gerakan restorasi lahan gambut. Restorasi ini bisa
mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut sehingga mensejahterakan manusia
serta melindungi flora fauna yang hidup di sana.
Mungkin
kita bisa meniru apa yang dilakukan masyarakat Desa Gelebak Dalam di Kecamatan
Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan sana.
Sering
jadi langganan karhutla, warga Desa Gelebak Dalam melakukan rekayasa teknologi
demi menciptakan tanah gambut yang lebih subur.
Menggunakan
cairan Bios 44 DC yang mampu mengubah kondisi tanah asam jadi netral,
lahan-lahan gambut yang terbengkalai kini jadi lahan produktif.
hutan rawa gambut di Sumatera © riaubernas |
Tapi, tapi, kita kan bukan petani, kita
anak-anak muda yang tak bisa lepas dari ponsel, harus gimana dong?
Segera angkat ponselmu dan buka media sosialmu.
Coba ingatkan secara rutin betapa
pentingnya lahan gambut untuk keanekaragaman hayati negeri ini. Meskipun
terdengar begitu sederhana dan langkah yang luar biasa kecil, kita bisa
menciptakan trending topic yang akan
menarik perhatian lebih luas.
Jadi, yuk sama-sama lindungi lahan gambut, lindungi fauna Indonesia!
Sumber:
- https://warstek.com/punah/
- https://www.mongabay.co.id/2020/10/01/jangan-lagi-salahkan-gambut-saat-terjadi-karhutla/
- https://sains.kompas.com/read/2014/10/15/19551581/Indonesia.Penghasil.Emisi.Karbon.Tertinggi.Keenam.di.Dunia
- https://nationalgeographic.grid.id/read/131879295/bukan-hanya-korban-manusia-foto-foto-pilu-ini-buktikan-karhutla-juga-mematikan-penghuni-hutan?page=all
- https://pantaugambut.id/cerita/mereka-yang-hidup-di-lahan-gambut
BalasHapusSaya prihatin dengan apa yang telah terjadi apalagi makin paham setelah baca artikel ini tentang lahan gambut dan sebagainya. Melestarikan alam mulai dari diri sendiri dan ikut berkampanye Mungkin salah satu upaya yang sedikt membantu pelestarian alam.
saya melihara kucing kampung kok mba, percayalah. karena emang gak begitu suka kucing ras "import", hehehe. bicara soal lahan gambut, aku miris lho bacanya. aku sendiri kurang paham soal keuntungan dan manfaat dari lahan gambut. jika dilihat dari manfaatnya dibanding soal jadi kambing hitam kebakaran, harusnya tetap dipelihara seperti masyarakat Desa Gelebak ya. apakah lahan gambut bisa dijadikan objek pariwisata tanpa merusak ekosistemnya kak? kalau bisa bisa jadi salah satu usaha konservasi nantinya
BalasHapusHey, Arai!
BalasHapusApa kabs? Hehe..
Eh, aku baca judulnya kok serem ya, huhu..
Lahan gambut sih memang harusnya bisa kita manfaatkan ya. Eh tapi yg namany manusia nih nggak ada puasnya, semua2 mau dialihfungsikan, hadeuh..
Yuk bisa yuk kita jaga lahan gambut dan satwa liar supaya nggak punah terlalu cepat.
Saya salah satu yang pernah baca2 dengan serius tentang pemanasan global dengan perasaan ngeri gimana gitu. Makanya saya terkadang menyelipkan rasa syukur karena pandemi ini lumayan menghambat ramalan kepunahan bumi selanjutnya karena banyak yang sudah mulai tertata di tempatnya.
BalasHapusDan ya, saya pernah kesal sih kenapa lahan gambut saja yang selalu jadi kambing hitam atas perbuatan manusia yang tamak sehingga membuat hutan hilang terus menerus.
Ternyata seperti itu ya.. nah di Kalimantan Selatan banyak sekali lahan gambut kak, dan lahannya dikeraskan dan jadi perumahan penduduk. Semoga bukan kategori merusak ya, soalnya mayoritas disana gambut..
BalasHapusSemoga semakin banyak yaa orang yang sadar, memelihara alam terutama lahan gambut dan satwa liar agar bumi memiliki umur lebih panjang lagi
BalasHapusLama nih ga bersua dengan artikelnya kak arai. Duh di tahun 2100 kira kira bumi sudah seperti apa ya. Semoga semua orang bisa sadar utk melestarikan lingkungan agar ekosistem juga bisa terlindungi
BalasHapusYa Allah, baca judulnya langsung merinding.. kita harus bener-bener merawat bumi yg udh tua ini ;(
BalasHapussemoga kita semakin peduli terhadap kerusakan alam agar anak cucu masih bisa merasakan lestarinya alam indonesia
BalasHapusSeumur-umur baru tau ada peristiwa The Great Dying. Ternyata kalo diliat ke belakang, usia bumi udah sangat uzur. Semakin menua. Bukannya semakin dijaga, eh malah banyak terjadi kerusakan di sana sini.
BalasHapusSangat menakutkan kalo keadaannya nggak berubah. Kita hanya tinggal menunggu kiamat terjadi saja ya. Semoga saja ke depannya masih bisa diperbaiki, meski agak terlambat.
Eh saya komen di sini lagi dong. Sebagai generasi millennial yang ketuaan, saya juga mau ikutan untuk mulai buka sosmed lewat hape, menyebar kebaikan soal kelestarian lingkungan hidup di sekitar kita.
HapusKalo lihat manusia2 sekarang yang punya perlakuan biadab ke hewan dan alam itu rasanya maluuuu jadi manusia :(( Gimana dongg. ya Allaah, jangan sampe Allah murka lah ya
BalasHapusAku mrembes bacanya lho kak. Merasa bersalah dengan bumiku tercinta belom bisaemberikan terbaik. Aku meski takut ular kalo liat foto ular terbakar gitu kasihan hewan dan kita padahal saling membutuhkan dan melindungi
BalasHapusMelihat realita lingkungan terutama di Indonesia memang cukup masuk akal kalau ada yang bilang 2100 bisa menjadi kiamat. Kiamat geologi. Tapi mudah-mudahan dengan tidak ikut sertanya kita dalam perusakan lingkungan tersebut, lingkungan yang lebih baik masih bisa dinikmati oleh anak-cucu kita.
BalasHapusDuh, ngeri ya jika kepunahan massal terjadi. Saatnya berbenah diri untuk lebih memperhatikan lingkungan supaya dapat dinikmati oleh generasi penerus kita.
BalasHapusKok ngeri ya, aku kalau baca beginian tuh langsung cuma bisa mikir, harus apa, harus ngapain, biar bumi kita bisa hidup lebih lama. Kasian anak cucu kalau cuma dapat nggak enaknya aja.
BalasHapusTulisannya renyah. Iri saya. Hehe... Bangga dan ngeri juga dengan kondisi Indonesia. Punya banyak satwa liar tapi kepunahan tercepat setelah Meksiko, bukan prestasi yang membanggakan. Semoga aja kita tak menjadi penyumbang kepunahan itu. Aamiin
BalasHapusya ampun aku baca opening nya udh bergidik auto ngeri yaa, berakhirnya bumi di tahun 2100, semacam prediksi hari akhir tapi karena faktor kelalaian dan kesalahan manusia ke lingkungan dan alam :(, emang harus rajin-rajin ya kasih edukasi pelestarian lingkungan, lha wong aku aja baru tau soal seluk beluk problem lahan gambut dan dampaknya sama lingkungan dan keanekaragaman hayati loh
BalasHapusKadang ikut prihatin melihat kebakaran hutan yang seringkali terjadi. Apalagi kalau sampai lahan gambut ikut musnah gara2 perbuatan orang yang tidak bertanggung jawab. Semoga pandemi ini membawa hikmah agar manusia makin sadar untuk membantu melestarikan lingkungan agar tetap asri.
BalasHapusMakin sedih karena enggak pernah berbuat apa-apa buat lingkungan dan hutan. Semoga bisa lebih bermanfaat dan orang-orang makin bertanggung jawa pada bumi tercinta.
BalasHapusHarus mulai dari diri sendiri untuk mulai kampanye selamatkan hutan gambut ya. Memang mengerikan bila akan terjadi kepunahan masal. Semoga semua orang cepat menyadari untuk menjaga kelestarian lingkungan
BalasHapusKalo bahas kiamat auto mellow nihh raii araaiii. Kerjaan manusia ini emang ngerusak sih yaa. kapan sih sadarnyaaa :(( terus sebarkan awarenes soal ini yaa, kak. Nitipp
BalasHapusseeet, aku terkejut bacanya, tapi pas udah kelar baca, jadi ingin menyerapi manusia manusia serakah, ah mungkin aku juga termasuk yg serakah, kita mengeksploitasi alam sampai merusak habitat hutan sana.
BalasHapusNegeri kita memang besar kekayaan flora dan faunanya, tapi sayangnya besar kepunahan yang terjadi. Mau sampai kapan ya tak ada perubahan yang dilakukan. Yuk kita selamatkan bumi ini, yang berarti menyelamatkan banyak kehidupan juga
BalasHapusSediihhh, kalau hal buruk semakin terjadi dan menjadi-jadi, sedih lihat banyak keanekaragaman fauna mulai punah akibat rusaknya habitat aslinya. Sesama ECO BLOGGER SQUAD yuk kita sama-sama, bergerak menyelamatkan lingkungan terutama di Lahan Gambut dengan cara kita masing-masing.
BalasHapusya nih aku pernah dengar tentang kebakaran hutan gambut dan kesulitan untuk memadamkannya. Ternyata banyak juga manfaat dari hutan gambut ini.
BalasHapusBaca openingnya aja udah ngeri" sedap. Pemerintah memang harus mempertegas soal lahan gambut. Kudu lapor siapa nih biar segera ditangani dengan baik?
BalasHapusnggak klikbait kok
BalasHapusemang gitu kenyataannya
klo manusia nggak menjaga lingkungan, maka yang punah ya manusia sendiri
Memprihatinkan banget ya kak. Nggak kebayang nanti anak cucu kita cuma kiat ragam kekayaan khas indonesia cuma lewat buku
BalasHapusJudulnya serem banget kak. Jadi pingin tahu dan membaca isinya deh. Ternyata lahan gambut itu bermanfaat banget ya kak buat melindungi flora dan fauna, apalagi seisi bumi ini.
BalasHapusPemerintah harus segera bertindak menyelamatkan lahan gambut. Jangan seenaknya membuka lahan dan menanaminya dengan sawit. Ya sawit juga perlu tapi kelestarian alam lebih perlu. Siapa yang menggaransi Indonesia masih ada pada 2100 nanti kalo tidak kita selamatkan sejak sekarang?
Semoga semakin banyak yaa orang yang sadar, memelihara alam terutama lahan gambut dan satwa liar agar bumi memiliki umur lebih panjang lagi
BalasHapusKebakaran lahan gambut ternyata tidak hanya berdampak bagi kehidupan manusia ya, banyak sekali habitat hewan dan tumbuhan yang terancam punah karena kejadian ini. Jika melihat potensi lahan gambut yang sebegini besar, maka sudah selayaknya jika seluruh pihak turun tangan dan lebih serius melestarikan lahan gambut.
BalasHapusYuk sama-sama kita lindungi lahan gambut. Biar kelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia tetap terjaga😊
BalasHapusGangguan siklus karbon menurut saya karena hampir separoh hutan di dunia ini ludes. Wah, siap2 aja berarti tahun 2100 anak cucu kita yang akan menikmati maha dahsyatnya perkiraan yang akan terjadi. Tapi mudah2an kita berdoa saja semoga bencana alam tidak banyak merusak penduduk bumi.
BalasHapusduh semoga aja engga yaa... tapi mungkin yang dimaksud kiamat itu yaa kondisi lingkungan yang semakin rusak itu. lha kebakaran hutan di mana2 aja udah terasa seperti kiamat kecil buat kita huhu
BalasHapusNgeri juga ya mbak kalo baca judulnya, kalo untuk orang yg jauh dr lahan gambut, apa yg bisa kita lakukan untuk ikut mempertahankan dan melindungi lahan gambut?
BalasHapusBaca isu lingkungan itu emang ngeri banget sekarang. Kita harus belajar untuk hidup secukupnya gitu. Jadi, nggak sembarangan aja pakai lahan babat alas sana sni.
BalasHapus