Sebagai manusia yang besar dan dilahirkan di Malang, saya sebetulnya cukup beruntung untuk bisa melihat pegunungan, bukit dan hutan. Merupakan kawasan dataran tinggi, Malang dikelilingi oleh gunung seperti Panderman, Arjuno hingga Semeru. Lebih beruntung lagi, saya sudah pernah mendaki semuanya.
Pada dasarnya saat mendaki, pikiran saya hanyalah mencapai puncak dan bisa mengabadikan diri di titik tertinggi. Namun semakin sering kaki saya diajak melangkah, saya semakin jatuh hati dengan aroma basah tanah pegunungan, suara tonggeret saat hendak petang, dedaunan pohon yang rimbun dan saling beradu di atas kepala hingga hawa sejuk yang cuma bisa didapatkan di hutan hujan tropis dan pos tertinggi.
Putuk Lesung, lereng gunung Arjuno |
Tanpa saya sadari, hutan memikat saya dengan cara yang cukup misterius.
Saya pikir rasa itu hanya muncul ketika mendaki saja.
Tapi ternyata ketika saya berkesempatan melangkahkan kaki ke air terjun Watu Ondo di kaki gunung Welirang, air terjun Lembah Anai di kaki gunung Singgalang hingga menembus hutan lindung di rumah Makuo (kakak Ibu saya) di Nagari Nan Tujuah, Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat sana, saya tahu bahwa hutan adalah alasan kenapa saya selalu bahagia saat melangkahkan kaki di alam liar.
Romantisme Pohon yang Dibalas Kejam Oleh Manusia
Jika boleh sedikit menyalahkan, hubungan antara manusia dan hutan ini sebetulnya cukup egois. Manusia yang dibekali akal dan pikiran ini lebih mengacuhkan hutan yang bekerja siang-malam secara alami mengatur susunan gas di atmosfer.
Ingatlah pelajaran Biologi saat di sekolah dasar atau sekolah menengah dulu, tumbuhan yang merupakan inti dari hutan itu sendiri, melakukan proses fotosintesis yang memanfaatkan karbondioksida menjadi oksigen. Bahkan satu hektar lahan hijau konon bisa mengubah 3,7 ton karbondioksida ulah manusia dari polusi pabrik dan kendaraan bermotor, menjadi dua ton oksigen yang lagi-lagi dibutuhkan manusia untuk bernapas.
Bukankah apa yang dilakukan hutan itu sangat romantis?
Apalagi pohon-pohon besar seperti damar, akasia, lamtoro gung hingga beringin disebut sebagai penyerap gas karbondioksida terbaik. Lantas apa yang dilakukan manusia untuk membalasnya? Penebangan liar.
Hutan di kawasan air terjun Watu Ondo |
Saya masih ingat bagaimana aktivis lingkungan FK31 (Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia) Jawa Barat memprotes keras penebangan 16 pohon damar di gunung kesayangan Soe Hok Gie, Gede Pangrango, tahun 2018 lalu. Meskipun berada di zona pemanfaatan, penebangan pohon damar yang sangat besar sumbangsihnya pada proses fotosintesis itu sungguh jauh dari kepentingan konservasi.
Atau mungkin jika mau mundur lebih jauh lagi ke tahun 2010, tak ada yang sadar bahwa hutan damar di wilayah Liwa-Krui, Lampung Barat yang sudah berusia ratusan tahun itu punah akibat ulah penebangan liar.
Cukup miris, bukan?
Tak heran kalau banyak yang bilang laju deforestasi (kehilangan hutan) di Indonesia sudah mencapai tahapan serius yang jika dibiarkan, hutan-hutan itu seperti hewan kurban yang hanya tinggal menunggu waktu untuk mencapai ajal.
Bayangkan apa yang terjadi seandainya Tuhan memberikan kemampuan pohon untuk berbicara dan berpikir? Mungkin nasib kita bakal seperti Saruman dan para Orc di Isengard, yang akhirnya musnah ketika bangsa Ent penghuni hutan Fangorn menghancurkan bendungan.
Masa Depan Hutan di Tangan Anak Muda
Beruntung, kegelisahan-kegelisahan tak berujung soal nasib hutan Indonesia ini akhirnya menemukan muara tepat untuk mencari solusi lewat Golongan Hutan. Menjadi satu dari 30 blogger terpilih, saya terlibat dalam event online I Love Indonesia Gathering pada Jumat (8/1) sore pekan lalu.
Saya yang mungkin hanya pernah bercumbu dengan hutan saat mendaki gunung atau travelling, mendapatkan cukup banyak pengetahuan dari para pembicara seperti Edo Rakhman (Koordinator Golongan Hutan), Syaharani (dari Komunitas Jeda untuk Iklim), serta Anindya Kusuma Putri (influencer). Sebuah pandangan baru bahwa kepada anak-anak mudalah, nasib hutan dipertaruhkan.
Infografis masalah lingkungan |
Hampir 50% responden menyebutkan kalau deforestasi dan kebakaran hutan adalah penyebab utama emisi GRK (Gas Rumah Kaca) yang membuat suhu bumi tidak stabil. Tak heran kalau 28% responden mendesak agar upaya kehilangan dan kebakaran hutan harus dihentikan, termasuk mengganti penggunaan energi fosil ke energi terbarukan (26%), hingga mengubah perilaku kehidupan sehari-hari (19%) yang tanpa sadar ikut merusak lingkungan.
Fakta ini jelas menarik, membuktikan bahwa anak-anak muda produktif tidaklah cuma tertarik dengan isu-isu viral di media sosial saja.
infografis masalah hutan dan pandemi Covid-19 |
Tak berlebihan pula jika disebutkan kalau masa depan hutan Indonesia memang layak disematkan kepada generasi muda. Dengan akses teknologi internet tanpa batas yang bisa menjangkau seluruh Tanah Air, 79% responden bahkan cukup optimis kalau Indonesia bisa jadi salah satu pemimpin dunia dalam mengatasi krisis iklim.
Gerakan Kecil Agar Bumi Selalu Bisa Dihuni
Perhatian soal lingkungan juga terasa lebih tulus ketika saya mendengar Anindya berbicara. Puteri Indonesia 2015 ini merasakan pesona alam sama seperti saya, lewat pendakian. Sudah menjejakkan kaki di gunung Ijen, Bromo, Ungaran dan akhirnya Rinjani, Anindya sadar kalau lewat travelling, dirinya bisa memahami langsung kondisi lingkungan di Indonesia.
saya saat di air terjun Lembah Anai |
Beda Anindya, beda pula Syaharani. Sebagai milenial bontot sekaligus jembatan penghubung ke generasi Z, Syaharani justru mengajak generas muda mengeluarkan sikap 3B untuk melindungi lingkungan.
"Sejak dini harus ada upaya kontribusi dan terbiasa dengan perubahan iklim. Ini adalah masalah yang sangat serius dan melibatkan banyak orang. Karena itu saya mengajak anak-anak muda untuk Belajar, Bergerak dan Bawel, supaya semua sadar kalau krisis iklim memang sudah terjadi," ungkap Syaharani panjang lebar.
Ah, saya jadi ingat salah satu film dokumenter yang paling saya sukai, AN INCONVENIENT TRUTH (2006). Film yang ditulis sekaligus dibintangi mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore, ini adalah bukti bahwa krisis iklim bisa menjadi ancaman mematikan jika manusia Bumi tidak segera mencoba menghidupi hutan dan lingkungan saat ini juga.
penyebab krisis iklim |
Jangan menunggu bisa menjadi pembicara di forum lingkungan hidup untuk mulai peduli pada Bumi. Dengan gerakan kecil seperti tidak buang sampah sembarangan, hemat listrik dan air, mengurangi sampah plastik dan penggunaan kendaraan bermotor, kita sudah terlibat dalam sebuah gerakan besar untuk menjadikan Bumi sebagai tempat yang selalu bisa dihuni.
Karena saya, masih ingin menjejakkan kaki di puncak-puncak gunung tertinggi di Indonesia, sambil menembus romantisme hutan belantara yang sangat rimbun itu.
Sumber tulisan:
- https://republika.co.id/berita/senggang/seni-budaya/12/01/17/breaking-news/nusantara/10/05/20/116213-hutan-damar-lampung-barat-terancam-punah
- https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4156090/aktivis-protes-penebangan-16-pohon-damar-di-gede-pangrango
- https://www.heyarai.com/2020/11/perlindungan-hutan-di-Indonesia.html
- https://fwi.or.id/menelisik-angka-deforestasi-pemerintah/
Indahnya....
BalasHapusSedih banget sih ngeliat manusia yang tidak punya balas budi dengan alam yang sudah memberikan penghidupan. Indah banget ngeliat air terjunnya ka. Aku baca tulisan ka arai jadi seperti bahan renungan.
Hey, Arai! Welcome to the jungle, hehe..
BalasHapusGhibahin tentang hutan memang nggak pernah ada habisnya ya. Karena memang hutan kita nggak akan pernah habis kalo bener-bener dijaga berbagai jenis pepohonannya, supaya makin hari makin berkembang, dan bumi kita pasti jadi lebih sehat.
Halao mba arai , salam kenal. Dirimu pecinta hutan dan alam ya. Senangnya kenal dengan dirimu yang paham betul tentang pepohonan, travelling alam naik gunung sampai tentang deforistasi. Sejak zaman aku SMA ini makin kesini makin parah ya.
BalasHapusAku cukup sebel dan sedih kalau mengingat pembalakan hutan. Karena aku pernah bekerja di perusahaan garden furniture jadi tahu sedikit bagaimana seringkali terjadi pembalakan liar. Semoga hutan kita tetep terjaga ya.
BalasHapusTempat tinggal saya sekarang di pinggir hutan, dekat kebon dan sawah orang. Udaranya memang lebih enak.
BalasHapusSama mbak, saya juga pernah mendaki gunung merapi dan merbabu. Keindahan alamnya membuat saya semakin cinta kepada alam :)
BalasHapusDimulai dari diri sendirii. Bener banget yak. Mulai mengurangi kantong plastik, ngurangin pake motor ke indomaret hehehe
BalasHapuskayanya ini pertama kali kulihat wajahmu kak Arai, hehe. Jadi ingat hadist ya, kalau kita mencintai apa yang di bumi (termasuk hutan dong) niscaya yang di langit juga mencintai kita. Aku pribadi juga mencoba melindungi hutan salah satunya ya di mulai dengan kesadaran diri sendiri bagaimana bisa mengurangi sampah.
BalasHapusMkwkw, kak! Maaf wajah memang nggak layak tayang. Apalagi yang di Lembah Anai ini, wajah bantal baru bangun langsung ngejar flight ke Surabaya hahaha. Jadi maafkan kalau kurang menarik
HapusGak atuh kak arai, itu wajah alami eh. Kapan lagi lihat kan sesama blogger siapa tau nanti kita ketemu di malang ya kan ehhe.
HapusJika Emisi Gas Rumah Kaca disebabkan oleh banyaknya kebakaran hutan hingga 50% pengakuan dari responden, lantas bagaimana kak dengan rumor kebakaran hutan ini dilakukan dengan sengaja?
BalasHapusKalau dari penjelasan KLHK tahun 2019 lalu, 99% kebakaran hutan dan lahan di Indonesia mayoritas disebabkan oleh penyulutan api sengaja. Pelakunya berdalih mau membuka lahan baru, memang jadi masalah laten sih. Bahkan pejabat pemerintah tidak bisa berbuat banyak apalagi kalau si pembakar ini mengaku punya lahan atau berizin dari instansi terkait, jadi semacam udah jadi kebiasaan. Kurangnya pemahaman soal krisis iklim juga memperparah. Dari hasil analisis Global Forest Watch juga terungkap kalau 85% fires spot ini ada di luar kawasan konsesi sawit/hutan industri. Miris memang.
HapusWah ketemu sama blogger yg bahas hutan. Jujur aku g terlalu paham. Tapi kapan hari sempat nulis tentang tema hutan. Ternyata kesadaranku pulih bahwa alam sudah banyak yang tergeser oleh kepentingan sehingga tak lagi aman. Makasih tulisannya kak
BalasHapusMantap mbak, Aku juga salah satu pencinta alam. Salam Lestari ya
BalasHapusMembaca ini, saya jadi ingat mbak. Dulu Batam pada tahun 1998, sekelilingnya masih hutan lebat, kini di tahun 2020-2021, tak ada lagi hutan lebat itu, semua dbuka untuk ladang. Entah itu legal atau ilegal.
BalasHapusPeranan anak muda memang merupakan hal yang paling dan sangat penting, tapi masalahnya kadang kala kesadaran untuk menjaga, melesatarikan itu masih jauh diambang kelayakan. Bahkan gak jarang ditemui sekelompok orang yang mengkaui diri sebagai pecinta alam eh tapi pas naik gunung ninggalin banyak sampah, pas hiking malah gatal tangan merusak pohon-pohon dll.ðŸ˜
BalasHapusBenar banget bahwa memulai dari diri sendiri untuk hal2 kecil adalah upaya yang harus disegera digaungkan, melihat semakin kritis kondisi hutan kitaðŸ˜
Bener juga tuh mbak pendapat mengenai kondisi alam yang sekarang ini. Sekarang malah jadi gresang dan panas karena banyak proyek pembangunan di sekitar hutan dan menimbulkan polusi.
BalasHapusBtw, sudah lama banget saya nggak jalan-jalan ke hutan lagi
Aku seneng klo ada anak-anak muda yang peduli sama hutan, secara sekarang mungkin kita sama hutan udah terpisah jauh ya, tapi dengan adanya program2 pelestarian or awareness tentang keberlangsungan hutan kayak Golongan Hutan gini secara gak langsung mengingatkan kita klo kita sebenernya bergantung sama hutan dan hasil hutan
BalasHapusSaya sudah pernah nonton AN INCONVENIENT TRUTH. Menarik banget sebab waktu itu saya sedang semangat-semangatnya kuliah di Fakultas Kehutanan. Nonton bareng sama teman-teman. Tulisannya inspiratif Mba Arai. Semoga tetap vokal menyuarakan pelestarian lingkungan hidup kita.
BalasHapusMenarik bgt pengalaman ka Arai mendaki gunung2 di Indonesia. Mungkin perasaan kayak gini ya yg dirasakan teman2 saya yg hobi mendaki hutan. Walau capek tapi ga pernah kapok. Suasana hutan dg suara tonggeret-nya memang menentramkan. Di tempat kelahiran suami, suara2 seperti ini kebetulan masih sering terdengar karena lingkungan sekitar masih rimbun. Kalau malam ditambah burung hantu. Kalau siang kadang banyak burung liar beterbangan. Indah sekali.
BalasHapusMalang udah kayak second home aku mbak, dulu tinggal lama disana karena kuliah juga
BalasHapusexplore malang juga masih belum puas sebenernya, ke batu palingan ya ke coban coban aja
ngomongin hutan yang masih alami aku sungguh kagum kalau nemuin hutan seperti itu, apalagi waktu ke waerebo yang harus blusukan hutan. karena di hutan itu juga sumber kehidupan masyarakat
Kita sebenarnya tergantung dengan hutan. Cuma lama lama hutan makin habis. Sedih sih.. melihat satwa pun jd kehilangan tpt tinggal.
BalasHapusMakasih pencerahannya
Hiks, manusia perusak hutan emang tidak tahu balas budi ya, udah dikasih oksigen bukannya tambah sayang sama pepohonan malah ditebas habis huhuuu... keterlaluan ya tidak pandai berterima kasih
BalasHapusPambalakan hutan dimana mana sekarang ini kak, sedih banget kan, wilayah yang kaya akan hutan jadi rawan banjir? Nggak usah nyalahin siapa-siapa tapi akibatnya terpampang nyata. Asli gemes aslinya kelihatan aja hutan sepanjang jalan hijau tapi dalamnya gundul
BalasHapuspercayalah bahwa untuk selamatkan hutan dan bumi yaitu dengan mengurangi jumlah penduduk di bumi karena dengan begitu manusia gak akan mau membabat hutan atau eploitasi hutan untuk mencari kayu, batu bara dan lain"
BalasHapusSebagai anak muda emang kudu berkontribusi penuh dalam upaya penjagaan alam ya kak. Kak arai kayaknya anak pecinta alam ya. Suka jalan-jalan ke alam gitu dari fotonya
BalasHapussetuju banget kak arai. poin-poin itu juga sudah diajarkan sejak kita kecil tapi realita dilapangannya kembali lagi kepada kesadaran masing-masing pribadi. semoga masyarakat lebih aware lagi dengan hutan dan lingkungan disekitar
BalasHapusbelum pernah mendaki gunung yg lbh tinggi dr ijen, hhuhu pdhl srg diajakin ndaki ke arjuni welirang dsb, belum brani aja, ga dpt ijin juga
BalasHapussedih ya ko liat yang tadinya hijau kini makin menggundul mba, moga asemua org makin sadar pentingnya menjaga lingkungan
Iya, jangan sampai hutan kita musnah ya karena ulah segelintir pencari keuntungan dan menyengsarakan seluruh penduduk Indonesia
BalasHapusEntahlah, terkadang saya pesimistis dengan apakah laju deforestasi bisa dihentikan lantaran banyak perusahaan yang membuka lahan untuk tanaman yang katanya penyumbang devisa. Permasalahan itu tidak bisa diwariskan begitu saja pada anak muda di masa yang akan datang, kita-kita harus memulai gerakan. Meskipun sebatas menulis di internet tentang penentangan terhadap penebangan hutan
BalasHapusMemang harus bawel ya untuk menggerakkan orang lain. Kalau pendiam kayak saya gimana kak? seng penting kita semua sadar diri untuk melindungi bumi agar lebih baik ya. semangat untuk kita semua
BalasHapus