Berstatus sebagai film pendek terbaik di ajang FFI (Festival Film Indonesia) 2020, JEMARI YANG MENARI DI ATAS LUKA-LUKA tentu sudah lebih dari cukup menjadi salah satu film buruan yang harus segera ditonton.
Dan saya pun cukup beruntung karena film pendek yang disutradarai oleh dosen IKJ (Institut Kesenian Jakarta) bernama Putri Sarah Amelia ini tayang gratis pada 10 Desember lalu. Yap, film yang diproduseri Jose Prabowo selaku dosen Multimedia Nusantara ini memang bisa dinikmati secara online dalam festival film di Laos, Luang Prabang Film Festival 2020.
Punya judul internasional GOLDEN FRAMES IN THE CLOSET, film ini memang sudah wara-wiri di berbagai festival internasional. Sebut saja seperti Short Shorts Film Festival and Asia 2020 di Jepang, Show Me Shorts Film Festival 2020 di Selandia Baru dan pemenang National Jury Competition dalam ajang Minikino Film Week 2020.
Jadi, apakah JEMARI YANG MENARI DI ATAS LUKA-LUKA layak mengantongi Piala Citra?
Saya akan tegas menjawab, sangat layak!
Sinopsis 'JEMARI YANG MENARI DI ATAS LUKA-LUKA'
Jose Prabowo - Putri Sarah Amelia membawa Piala Citra © instagram.com/jemari.film
JEMARI YANG MENARI DI ATAS LUKA-LUKA bercerita mengenai seorang perempuan yang berprofesi sebagai perias jenazah bernama Josephine (Wani Siregar). Suatu hari, Josephine dipanggil oleh Bu Artha (Bonita) untuk merias jenazah putrinya. Namun ternyata sang putri adalah seorang transgender dan sudah mengubah fisiknya menjadi laki-laki.
Sebagai perias jenazah profesional, Josephine jelas harus mengikuti permintaan klien yang meminta anaknya itu dirias sesuai kodratnya yakni sebagai perempuan dan mengenakan gaun. Dalam waktu 1,5 jam, Josephine merias jenazah yang sudah membiru itu dengan cekatan dan tampil begitu cantik selayaknya perempuan normal. Josephine menutup luka-luka kecelakaan dan bekas operasi dengan sempurna.
Namun Josephine menjadi gamang. Penuh pergulatan batin apakah ini yang diinginkan oleh sang mendiang? Apalagi Josephine melihat foto yang mendiang saat masih kecil bersama bu Artha, dia tampak tidak terlalu bahagia dalam tampilannya sebagai perempuan. Josephine pun melihat isi dari lemari baju yang hampir semuanya adalah baju-baju berpotongan maskulin.
cuplikan adegan JEMARI YANG MENARI DI ATAS LUKA-LUKA |
Saat hendak mencoba menutup pintu lemari yang berulang kali terbuka, mendadak Josephine melihat foto-foto mendiang selama hidup saat dirinya sudah berubah menjadi laki-laki. Ekspresi yang terpotret dalam foto bisu itu memperlihatkan kegembiraan yang tak tampak dalam foto masa kanak-kanaknya sebagai perempuan.
Diburu oleh waktu, Josephine tampak menimbang apakah yang dilakukannya sudah benar. Dia lalu melihat meja rias mendiang yang sama sekali tak memiliki sentuhan perempuan. Bahkan parfumnya pun tampak sangat maskulin. Dan akhirnya Josephine pun membuat keputusan nekat, mengubah riasannya di detik-detik terakhir.
Josephine keluar dari kamar mendiang dengan guilty pleasure. Bu Artha yang merasakan keanehan pun masuk ke kamar putrinya dan kaget melihat jenazah putrinya tidak seperti yang diinginkannya, alih-alih gaun putih nan cantik, jenazah anaknya justru berbalut setelan jas dan tampak sangat tampan.
Bu Artha pun menangis histeris. Mencoba berdamai bahwa putrinya yang bernama Paola itu, sepertinya akan dimakamkan dalam tampilan laki-laki. Seperti pilihannya sebagai transgender bernama Mikael Putra.
All of us are put in boxes by our family, by our religion, by our society, our moment in history, even our own bodies. Some people have the courage to break free. ~ Geena Rocero
Review 'JEMARI YANG MENARI DI ATAS LUKA-LUKA' Versi Saya
Hanya berdurasi selama 16 menit, saya sebetulnya tidak butuh waktu lama untuk bisa jatuh hati pada JEMARI YANG MENARI DI ATAS LUKA-LUKA ini. Ditampilkan tanpa dialog sedikitpun, film produksi Bekantan Pictures ini memang telah memikat dan begitu menyentuh lewat gestur dan akting Wani serta Bonita, dua cast utama di film ini.
para pemain JEMARI YANG MENARI DI ATAS LUKA-LUKA |
Wani tampak cukup meyakinkan sebagai seorang perias jenazah, serta menampilkan ekspresi yang jelas lewat wajahnya. Mulai dari tatapan gundah, kekuatiran, imajinasi dan sebuah dilema. Apalagi ketika dirinya akhirnya melihat foto-foto semasa hidup sang jenazah, pergulatan batin yang ditampilkan Josephine tampak begitu tersalurkan.
Putri Sarah tampaknya tak mau terlalu banyak bermain untuk filmnya kali ini. Hanya mengambil setting di sebuah kamar yang tidak terlalu luas, Putri menyuguhkan sinematografi minimalis yang justru malah memberikan kesan mendalam, bahkan sampai film ini usai.
Visual yang terbatas ini seolah menggambarkan benar kehidupan para transgender yang adalah kaum minoritas yang lepas dari berbagai pro-kontra, sebetulnya dijalani dengan minim, terbatas dan sangat sunyi. Putri seolah mengajak penonton untuk menjadi Josephine yang begitu perlahan, satu demi satu, mencoba memahami keinginan terakhir sang mendiang.
Adegan yang dibangun pun begitu natural, smooth dengan pace yang lembut tapi sangat kokoh menyuarakan keinginan sang sutradara dan penulis naskahnya, Perdana Kartawiyudha, sebagai simbolisasi pengakuan kaum transgender.
Kredit cukup besar patut juga diberikan kepada Jason Obadiah selaku sound designer. Pilihan musik yang begitu tepat, membantu saya dalam membangun emosi hingga adegan klimaks ketika Josephine meninggalkan kamar si mendiang dan bu Artha menangis histeris saat melihat jenazah putrinya dirias menjadi laki-laki.
Lagu-lagu seperti I'll Take you Home milik Banda Neira, La M émoire hingga Nista-nya Tashoora sangat cocok untuk melengkapi kedangkalan dialog yang disuguhkan JEMARI YANG MENARI DI ATAS LUKA-LUKA. Terutama untuk Nista, saya rasa tak ada yang lebih sempurna mewakili apa yang dirasakan oleh mendiang Mikael Putra, selain lagu magis tersebut.
Jika mati kan berujung pada siksa, kan kuketuk pintunya. Jika api yang menungguku di sana, kan kudekap nyalanya ~ Nista (Tashoora)
Meskipun tampak sempurna, JEMARI YANG MENARI DI ATAS LUKA-LUKA tentu masih meninggalkan segudang pertanyaan di benak saya. Seperti, apakah Josephine tidak menerima keluhan dahsyat dari sang klien lantaran tidak mengerjakan tugas secara profesional, tapi justru mengikuti kata hati?
Atau mungkin, bagaimana jadinya jika sang mendiang meninggalkan pesan terakhir bahwa dirinya ingin dikebumikan sebagai Paola, alih-alih Mikael Putra?
Tidak ada yang tahu.
Dan mungkin, itu tidak akan terjadi.
Karena JEMARI YANG MENARI DI ATAS LUKA-LUKA adalah sebuah suara tulus dari transgender yang tentu sangat sulit diterima oleh masyarakat heterogen Indonesia. Bahkan ketika saya selesai menonton film ini, kesedihan masih menggantung di benak saya. Kesedihan mengenai kehidupan para minoritas yang selalu saja sunyi dan sendiri berjalan sampai akhir sambil menanti uluran tangan-Nya.
Karena Minoritas Memang Selalu Terbatas dan Mendamba Bebas
Melihat bagaimana sikap bu Artha yang begitu ingin memakamkan putrinya sebagai seorang perempuan, mengembalikan kodratnya lahirnya, tentu menjadi bukti bahwa memang transgender masih sangatlah sulit diterima di negeri ini.
Sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, transgender hanya memiliki dua pilihan di negeri ini, surga atau neraka.
Bahkan di dunia entertainment, mereka yang memilih menjadi transgender harus melewati jalan berliku sebelum bisa mendapat pengakuan dari masyarakat dan hukum negara. Beberapa di antaranya seperti Dorce Gamalama, Lucinta Luna, Dena Rachman, Dinda Syarif hingga yang terakhir adalah Millen Cyrus, yang meskipun belum resmi sebagai transgender, sudah menikmati penampilannya sebagai perempuan.
Tak hanya di Indonesia, fenomena transgender memang selalu menjadi kisah yang seksi untuk digarap.
Beberapa pekan lalu, saya bahkan cukup dikagetkan dengan pengakuan salah satu aktris Hollywood, Ellen Page, yang ternyata memilih jadi transgender bernama Elliot Page. Melalui akun Twitternya, Elliot cukup berani memberitakan perubahan statusnya. Mendobrak segala ketabuan yang akan dia terima atas nama Hak Asasi Manusia, dan menginginkan untuk dipanggil dalam bingkai baru, seorang laki-laki yang berprofesi sebagai aktor.
Ada sebuah film mengenai transgender yang sangat saya sukai, THE DANISH GIRL (2015). Film arahan Tom Hooper ini adalah sebuah biografi romantis pelukis asal Denmark, Lili Elbe (Eddie Redmayne). Elbe yang terlahir sebagai seorang laki-laki tulen bernama Einar Wegener ini diketahui sebagai orang pertama di dunia yang menjalani operasi transgender.
adegan film THE DANISH GIRL |
Malang, Elbe akhirnya meninggal dunia karena komplikasi operasi yang dia jalani. Kematian yang mungkin dianggap orang lain sebagai kesunyian, tapi justru sebetulnya adalah sebuah pengakuan kemenangan atas dirinya sendiri, untuk menjadi insan yang bebas.
Transgender seperti kebanyakan kisah pilu minoritas, haruslah berjuang lebih keras. Langkah mereka harus lebih besar dan lebih panjang, meski kaki yang dipakai mungkin sudah cukup lelah, penuh luka dan terbatas. Serapah mengenai keengganan Tuhan untuk menerima selalu ditujukan kepada mereka.
Di Indonesia sendiri, transgender bersama dengan kelompok LGBT lainnya, dipandang bertentangan dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tak sedikit kisah pilu minoritas yang selalu terungkap dan menguap begitu saja. Mudah dilupakan dan mendapat label penista tanpa pernah berusaha mencari tahu kebenarannya.
Sebagai seorang Muslim, agama saya memang tidak pernah membenarkan transgender.
Namun, sebagai seorang Warga Negara Indonesia, saya coba memandang Pancasila secara utuh. Tak hanya fokus pada sila pertama, ada sila kedua yang cukup kuat memayungi para minoritas, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Mungkin pendapat saya memang terdengar cukup ambigu dan abu-abu. Tapi sebagai manusia yang masih penuh dosa, saya memilih untuk tetap menjabat tangan mereka sambil berharap kalau mereka akan menemukan jawaban dari Tuhan. Sama seperti yang setiap hari saya lakukan, berusaha mengetuk pintu hati-Nya dari Subuh hingga Isya.
Setiap dari kita berhak hidup maupun mati menjadi diri sendiri. Jika mati sebagai diri sendiri kan berujung pada siksa, kan kuketuk pintunya ~ Sammaria Simanjuntak
reviewnya menarik kak, melihat sisi lain kehidupan transgender yang mungkin luput dari pandangan masyarakat kita secara umum.
BalasHapusi21 Desember 2020 23.00
BalasHapusWow baca reviewnya membuat saya berpikir panjang. Apakah cara pandang kita terhadap transgender ini sudah benar atau hanya sekedar ikut-ikutan dengan pendapat umum?
Ah, bicara tentang transgender memang terasa sensitif buat kalangan tertentu, tapu bicara tentang hak sebagai manusia, tentunya tak ada alasan untuk membatasi kebebasan mereka memilih jati diri
Menarik kak
Jadi pengen nonton filmnya juga nih
Wah banyak pelajaran yang dapat diambil dan nilai kemanusiaan yang tercermin dari tujuan ceritanya. Salut sama mbak mereview secara komprehensif. Bikin saya penasaran untuk menontonnya.
BalasHapusSaya sudah nonton The Danish Girl, tapi belum nonton Jemari yang Menari di Atas Luka. Saya pun gak mau mengomentari film ini dari sudut pandang agama. Let see film ini sebagai produk. Keren bangettt. Padahal filmnya tanpa dialog ya. Kebayang beban aktor/ aktrisnya yang harus membuat film ini jadi 'hidup.' Pantas saja film ini bisa jebol festival-festival film bergengsi. Nice review mba.
BalasHapusPandanganku mengenai transgender ya memang perlu ruang buatnya namun bukan berarti menyetujui prilakunya. Mereka butuh ruang dan mungkin aja mereka kembali kepada fitrahnya
BalasHapusReviewnnya keren banget. tulisan kk arai mengalir seolah saya sudah menonton film pendeknya.
BalasHapusHey, Arai!
BalasHapusAku bacanya sampe mengerngit dahi lho, hehe..
Aku memang lebih suka sama film yang nggak terlalu banyak dialog sih, jadi tantangannya kita jadi mikir adegan demi adengannya. Seru sih ini kalo baca reviewnya. Ah, kamu mah memang selalu bagus nulisnya, Araaai! :D
Komen pertama saya lihat sinopsis ini adalah wow. Si pembuat cerita benar-benar bisa memainkan perasaan. Jadi pengen nonton filmnya
BalasHapusreview yang bagus Kak, lengkap dengan sudut pandang sendiri ya.
BalasHapusTransgender memang masih jadi isu yang hot ya, masih pro-kontra.
semoga sih hal ini bisa ada jalan tengah yang lebih baik.
Menarik sekali ulasannya Arai nih.. Suka gemes sama luas pengetahuan perfilmannya 👍
BalasHapusKalo ngeliat hal2 yg begini, yg pertama kali perlu diletakkan memang adalah kemanusiaan yaa. Mereka berhak mendapatkan perlakuan yg sama jg dlm segala aspek. Perlu jg jg memang di jelaskan sejak awal bahwa jenis kelamin ternyata ada jg yg begitu, tp harus diputuskan ujung2nya mau menjadi wanita atau laki2.
Nice review as always Arai. Love it 😍
Araiii aku belum bisa ngulas yang sedetail kamu hehehhe, jadi belajar banyak ini. Aku belum nonton hiks, tapi aku setuju sama kamu. Aku juga tipe yang tetap berteman, dan mendoakan agar mereka menemukan jalan dari Tuhan
BalasHapusRevew yang detail dan super keren mbak arai, aku jadi mendapat insight baru tentang sisi lain transgender. btw agak merinding juga saat tahu kisahnya tentang perias jenazah.
BalasHapusBiasanya kan kita nonton film dari novel ya, klo baca blog mba arai tuh jdi kebalikannya deh
BalasHapusFilmnya tanpa dialog, namun mampu mengaduk emosi penonton. Layak jadi juara nih film ya. Pesan yang disampaikan begitu mendalam. Rupanya Mba Arai ini penikmat film-film seperti ini ya.... Mantap ulasannya Mba
BalasHapusReviewnya keren banget, aku sampai membayangkan, si perias wajah yang harus segera merubah riasannya dan melihat seisi kamarnya paola
BalasHapuskehidupan transgender memang gitu ya? kadang kita tidak bisa menjudge mereka secara langsung tanpa tahu duduk permasalahannya. Film dan ulasan dari kak Arai sungguh enak dibaca dan sudah kubaca ya kak :) huhu jadi terharu
BalasHapusfilm yang unik dan pastinya menuai pro kontra banget nih kalo tayang di media mainstream hihi secara Indonesia jaman sekarang menurutku agak kehilangan nilai toleransinya, nice review dan asli sih aku penasaran pengen nonton filmnya apalagi settingnya juga menarik dan minimalis
BalasHapusPertama, filmnya unik.
BalasHapusKedua, saya tertarik menonton The Danish Girls
Ketiga, reviewnya sangat manis. Bikin betah sampai akhir dan jujur saya malah bingung mau komen apa karena memang begitu adanya kondisi transgender di negara kita. Sebagai muslim saya juga tidak membenarkan. Namun saya hidup di tengah keberagaman, jadi saya tidak akan menolak keberadaan mereka. Semua tentang pilihan.
saya jug audah nonton DANISH dan bagus memang filmnya, saya jadi komen ttg dilm DANISH, hahahaha. etapi iya, kadang kita harus lihat sisi the reason why mereka jadi seperti itu dan memahami. tapi bukan menerima, saya berharap selalu mereka menemukan jalan kembali pada Tuhan
BalasHapusDetail banget ini reviewnya kak Arai. Salut deh. Tapi untuk masalah transgender memang sulit sih untuk diterima seutuhnya di masyarakat. Terlebih agama juga melarang transgender. Kita doakan saja semoga mereka kembali pada kodratnya sebelum kembali pada Tuhan
BalasHapusfilmnya singkat ya, tapi langsung fokus pada pesan yang ingin disampaikan.
BalasHapusPembahasan di review ini saya suka, mencoba melihat dari berbagai sudut pandang fenomena transgender di negara kita, bahkan dalam lingkup dunia.
Sebetulnya jangan pernah menilai baju orang lain dari ukuran baju kita. Karena kita sendiri belum tentu mengenal jati diri kita yang sesungguhnya. Jadi daripada sibuk mengukur baju orang lain (transgender) fokus perbaiki saja dulu ukuran baju kita ...
BalasHapusSebagai muslim saya gak berani sih membanding2kan keyakinan saya dg Pancasila. Meski butir-butir sila dan nilai-nilai Pancasila ada bersesuaian juga dg agama. Karena apa yang sudah dibuat Tuhan gak akan bs dibandingkan vis a vis dengan buatan manusia. Baik menurut manusia belum tentu baik menurut Allah SWT. Wallahua'lam. Anyway, nice review yahh jd ngeh ada film pendek Jemari yang Menari di Atas Luka-Luka
BalasHapusJika mati kan berujung pada siksa, kan kuketuk pintunya. Jika api yang menungguku di sana, kan kudekap nyalanya ~ Nista (Tashoora)
BalasHapusDari kata kata ini saja sungguh memiliki makna kuat
Coba cari di netflix aaah. Gara2 kemarin di itaewon class juga adabahas masalah transgender juga. Hmm menarik banget emang buat dibahas
BalasHapusNggak bisa dipungkiri. Memang transgender masih sulit diterima oleh sebagian orang. Pun oleh saya sendiri. Kadang masih ada saja pertanyaan, apakah memang itu benar keinginan hati paling dalam? Ataukah karena tak mau mensyukuri apa yang telah dimiliki hingga merasa menjadi sosok lain adalah jalan keluar. Ntahlah. Aku nggak berani menyimpulkan.
BalasHapusTapi memang benar. Bahwa dasar negara kita pancasila nggak hanya ada sila pertama saja. Ada sila kedua sampai dengan kelima yang bisa jadi menjadi pembenaran atas keinginan mereka.
Semoga apa pun itu. Mereka, para kaum minoritas, memperoleh apa yang selama ini tengah mereka cari. Tanpa melanggar norma-norma yang ada.
Review yang menarik, kak. Saya jadi memiliki keinginan untuk melihat filmnya juga.
Kak, baca sinopsis filmnya saja bikin aku merinding. Lalu kau kupas dalam lagi mengenai transgender. Wah, sungguh hebat.
BalasHapusWah, ide ceritanya out of the box gitu. Menarik sih. Cuma kok agak seram ya kalau berbau jenazah-jenazah gitu
BalasHapusIde Ceritanya out of the box gitu ya. Menarik sih. Tapi kalau berbau jenazah-jenazah gitu agak seram gitu sih
BalasHapusHey Arai,
BalasHapusMakasih ya telah mereview film kami! Semoga dirimu senantiasa menunggu karya-karya kami ke depannya ya ;)
Waah, happy banget! Siap kak, sukses untuk Bekantan Pictures!
Hapus